Monday 13 September 2010

Tuesday 7 September 2010

Jatinangor-ku tidak ku lupakan...

Dulu aku bercita-cita menjadi seorang praja,,,
Berdiri tegak gagah perkasa, tunaikan tugas yg mulia
Kini aku sedang ditempa d lembah manglayang, stpdn
Lupa kawan lupa saudara,,, lupakan saja semuanya,,,,

Masih ingat lagu itu kan, kawan. Rasanya rindu menjumpai matahari dengan nyanyian pendek manglayang. Rindu ocehan pagi anak-anak.
“Aci, aku kamar mandi tiga (wc no 3, awamnya begitu). Ngana mo antri habis kita ka? Tapi aku mau nyuci dlu. Dak papa??”. Biasanya linda bondowoso yang yang ngomong ini. Paling cepat bangun dan paling rajin nge-cup kamar mandi.

“Ya…, q habis kau ya lin. Ntar bagunin kalo dah beres!!” lalu dengan sempurnanya ku lanjut tidur.
“Ci, aku udah tuh. Klo dak, mbak dit mo masuk”.

“Iya, duluan ja dit. Ntar panggil ya…” ujarku sambil menarik selimut melawan dinginnya pagi manglayang.
“Aci cz, banguuuuuunnnn!!! Aku udah!!!” teriak ditong dari pintu toilet. Wajar ja seisi barak Bengkulu bawah pada mulai bangun.
Dan mulai dah barak riuh dengan,,,,
Kamar mandi 4, naniiikkkkk……… jangan ada yang masuk. Qta masih setrika dang. (biasa lidahnya nanik yang orang jawa susah ngomong strika, biasanya setrika. heheheh)
Cimong, momogi. Ngana kamar mandi berapa??”
Ah, baribut saja. Kong habis waktu bacarita. Kita duluan saja” ce’ani memutuskan.

Lalu yang lain pun berkata
“Beta duluan klo bagitu”

“Hoh, be rasa!! Be kamar mandi nomor dua noh, sonde boleh ada yang masuk!!” (biasanya ine nezi yang bilang).

“Cak mano pulo ni, aku habis kau lah” (si lepi ni)

“Aku kamar mandi nomor 4, ribut saja kau nih” (kata manda)

Lagi-lagi...

“Aci czzzz, kalo ngana dak masuk, econg mo masuk” lanjut ditha ditong lagi. Ku masih tidak bergerak dari tempat tidur.

“Ci, kau masuk gak??? Kalo gak biar aku duluan.. lama kali pun kau…” Econg setor muka di depan lorong petak C, tempatku.

“Ah, ko lama skali, sa duluan mo. Kam tidur sa dulu” kata si mace.

“Aciiiii, ngana antri di kamar mandi A atau kamar mandi E” teriak ce ani dari petak E

“Jam berapa cong??” tanyaku malas.

“Setengah 6 lewat, ci” lanjutnya..

“Hwaaaa…. Aku masuk!!” biasanya kalau dah bilang begitu, ku dah kabur cari kamar mandi nomor dua. Gimana dak kalang kabut, menza jam 6.15 dan aku belum aku belum apa-apa. Strika pdh ma semir sapatu saja belum apalagi braso. (nb: braso kan bisa sambil jalan ke menza, hihihi). Buru-buru mau mandi = buru-buru cari gayung. Berarti buru-buru juga obrak-abrik laci lemari paling bawah. Dan…

“Mana gayungku?!!” keluar dah kata-kata paling rutin tiap pagiku dengan logat Sul-sel yang kental. Heheheheh..
“Hwaaa…, sapa yang pake lagi??”, panik sendiri, buru-buru ke lemarinya linda yang lagi beres-beres.
“Gayung, lin!!”

“Ada isinya, ci”

“Wadoww, epin gembiraaaaaaaaa……, aku pake gayungmu yah” dapat izin ato tidak langsung disambar ja tu gayung. Hehehe…

“Aci, habis ngana kita e…” teriak econg. Aku dah lupa klo ia masih di depan lorong petak C."

Ckckckck,, pagi yang riuh. Belum kalo air dak ngalir pasti lebih heboh lagi. Semua pada sibuk bergerilya mencari sumber air. Kampus…oh…kampus. Aku, kamu dan kita, hidup dengan memori purba itu. Memori purba tentang pagi yang hampir sama di tiap kita.
Hari ini, adalah setahun evolet kita waktu itu. Setahun pelepasan atribut (dek, kewiraan, wing). Atribut yang kadang lebih sering kita anggap remeh dari pada dibanggakan. Tetapi ketika melepasnya, kau pasti tahu bagaimana rasanya. Seperti ada yang gugur, hilang, sedang kau mau memilikinya, baru menyadari. Lalu parade pun basah, bukan hanya karena hujan, tapi haru yang padu. Kami mencintaimu, manglayang. Hwaaa,, benar2 memori purba yang tidak pernah sekalipun menyesal memilikinya,,,


aci_cz
(special for antrian “kamar mandi” no 3, linda, econg, cimong, nezi)

Soe Hok Gie : Si Molotov Grafis

"Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik meninggal dari pada menyerah, walaupun bagaimana saya tetap merah putih." Karena prajurit ini memang tidak bermaksud menembak mati Musso, ia lari ke desa di dekatnya. Sementara itu pasukan-pasukan bantuan di bawah Kapt. Sumadi telah datang. Musso bersembunyi di sebuah kamar mandi dan tetap menolak menyerah. Akhirnya ia ditembak mati. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar.
Ini dia buku yang bikin badan saya panas dingin bertahun-tahun. Bagaimana tidak, hampir enam tahun hidup dengan rasa penasaran, meng- obok-obok hampir setiap toko buku saat pelesir di negeri orang, tapi tetap saja nihil. Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan salah satu karya Soe Hok Gie tentang pemberontakan PKI di Madiun. Fakta yang bertutur layaknya novel sejarah dramatis yang mencenangkan. Gie berhasil meramu-nya dengan objektifitas tingkat tinggi, tanpa tendensi. Keren.., satu-satunya kata yang paling tepat mendeskripsikan analisis seorang Soe Hok Gie. Baginya sejarah tetap fakta suci dengan posisi terhormat.yang harus tetap terjaga. (Edisi pertama buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta pada Januari 1997 dan saya belum juga menemukannya).
Yah, Gie adalah kontroversi, hampir semua mengenalnya dengan sebutan itu. Tulisan-tulisannya adalah molotov grafis di tahun 60-an. Menyentil dan jujur. Aktif di sejumlah media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Hingga saat ini, hampir sepertiga dari keseluruhan tulisan yang pernah dibuat Gie telah dibukukan. Secara lengkap, kondisi tahun 60-an, era peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto dibukukan dalan Zaman Peralihan. Ful berisi kritikan tajam pada pemerintah, secara gamblang membeberkan ketimpangan-ketimpangan kebijakan para pelaku ketidakadilan. Sudah jadi kebiasaan Gie, menyebutkan nama para pelaku, bukan inisial. Positifnya masyarakat tidak mengalami dualisme keadaan, pun keadaan mesti mereka-reka maksud setiap pemberitaan. Negatifnya, Gie dielukan sekaligus ditakuti. Sederhananya, dia hidup bersama terror orang-orang yang disebut-sebut dalam tulisannya.

Tidak mau di-cap setengah-setengah Gie tetap idealis dengan gaya tulisan dan bertuturnya. Hidup adalah menulis, seolah-olah telah menjadi prinsipnya. Bahkan skripsi sarjana mudanya menarasikan satu periode krusial sejarah Indonesia, tepat ketika gagasan kebangsaan mulai disemaikan dalam raga-raga organisasi. Skripsi tersebut dibukukan dalam “Di Bawah Lentera Merah” yang diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta tahun 1999. Buku sederhana dengan isi luar biasa, memotret gagasan transformasi Indonesia dari wacana tradisional ke wacana modern. Juga mencatat kisah nyata dari saksi hidup Semaun dan Darsono tentang pemberontakan PKI 1926/1927 termasuk asal mula pergerakannya.
Yap, sudah enam tahun berlalu sejak pertama kali mengenal Soe dan kasmaran dengan tulisan-tulisannya. Enam tahun dengan penasaran dan ngiler pengen punya buku-bukunya. Meng-obok-obok hampir setiap toko buku dan nihil. Makassar bersih, tiga setengah tahun di kampung orang pun Cuma berhasil menemukan satu, Catatan Seorang Demonstran. Catatan harian penuh gejolak milik Gie. Betul-betul ful intrik dan emosi. Sedang yang tiga sepertinya benar-benar sudah tanpa jejak. Hm, semoga yang membaca tulisan ini, bisa berbagi link unduh, lokasi penjualan buku mungkin atau bahkan ada yang berbaik hati memberikan bukunya ke saya. Hehehehehh… (^_^).

Monday 6 September 2010

Untuk dian yang hampir terlupa

memasung mata pada lembah tak bertuan
berjumpa miris dan hari yang beku
kicau menyepi.. bayu.. mendayu...
enggan..
ketika fikir bersorak
lalu mata menerawang
yang ada hanya sesak
merona...bias..mencipta karang..
masihkah lembayung itu disana?
membingkai senja penuh kemilau?
gelap merona..
lalu tatapan-tatapan terkubur sepi...
bisakah aku berjumpa embun sore ini??
ataukah.. pelangi akan tetap muncul di setiap kelabu?
ketika punggung berbalik..
mencoba mencerna setapak yang kian mengabur..
ada dian di ujung setapak yang menggelitiknya
akankah cahya itu terlihat di sudut ini...
akankah ada jalan pulang..
untuk dian yang hampir terlupa

aci_cz

Sunday 5 September 2010

Donna donna- Joan Baez




On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.
Chorus:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
“Stop complaining!” said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?”

+ Chorus
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.

+ Chorus


Joan Baez (lahir di Staten Island, New York, Amerika Serikat, 9 Januari 1941; umur 69 tahun) adalah seorang penyanyi lagu folk, penulis lagu dan aktivis atau pejuang hak sipil. Dia dilahirkan di Pulau Staten, New York dari seorang ibu Skotlandia dan ayah Meksiko. Ketika Joan dan kedua saudara perempuannya masih kecil, orang tuanya telah menjadi Quakers atau tokoh aktivis sosial.
Karier musiknya dimulai pada tahun 1960, ketika dia melakukan pertunjukan solo di Newport Folk Festival. Di tahun yang sama, dia melakukan konser pertamanya di New York dan merilis album pertamanya. Pada 26 Maret 1968, dia menikah dengan David Harris, seorang aktivis, dan bercerai pada tahun 1971. Beberapa isu dunia yang pernah diperjuangkan oleh Joan Baez adalah protes anti-perang, protes terhadap pemukulan anak-anak berkulit hitam di sekolah, dan menentang kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang ikut campur dalam pemerintahan Vietnam dengan menahan 60% pajak penghasilan untuk kebutuhan militer. Joan Baez merupakan artis dunia pertama yang tampil di Sarajevo sejak terjadinya perang sipil di daerah tersebut. Di tahun 1960-an, perempuan ini memang terkenal dengan sikapnya yang menentang perang.

Menaklukkan Rubik 3x3

Sering bengong klo lagi dak ada kerjaan? Nah, makhluk kotak berwajah enam ini pas skali jadi pengusir hantu bengong, dari pada kesambet. Hayoo, pilih mana?
Atau jangan-jangan memang suka mainin rubik? Termasuk level mana tuw? Jangan kayak saya, masih kelas teri. Suka main tapi dak pernah berhasil.^^
Tapi syukur dah, sekarang dah mulai bisa. heheheheh.. tak lain dan tak bukan cuz dapat bocoran dari mbah google sama om youtube. hihihi..
tapi dak pa2 lah, dari pada dak pernah mengalahkan moster kotak ini. Cekidott..^^



Gimana? Bisa tidak? Hehehhe..
Kalau saya biasanya bikinnya gini. Diusaha dulu dasarnya berwarna sama. Trus baris kedua. Begitu dua baris beres, baru dah pake rumus macam ni (agar sisi atas tepat 1 warna):
(+) = R U R' U R U U R'
(-) = F R U R' U' F'
(L) = f R U R' U' f'
(.) = Rumus (-) ditambah L

Setelah beres, tinggal ngecek baris ketiga, apa posisinya apit atau acak. Rumusnya kek ini:
jika posisi diapit:
F F U/U' R' L F F R L' U/U' F F
Jika posisi acak:
R U U R' U' R U U L' U R' U' L

Met mencoba... mugi2 berhasil.. ^^

Saturday 4 September 2010

Parade Gumam..

Takaran hebat dari segi edukasi bukanlah segala-galanya.
Justru aku merasa hebat pada mereka yang bisa bijak
dan memaknai hidup dari alam.
Sebuah kebebasan yang selalu ku rindukan.
Kehebatan atau kemampuan hanya terbatas pada sebuah ruang.
Saat ruang itu terganti, pemaknaan terhadap kehebatan juga terganti. Sama halnya dengan orang yang dikatakan baik.
Baik itu relatif.
Orang dikatakan baik hanya pada suatu situasi saja,
tidak pada setiap situasi.

Manusia adalah makhluk dengan kerangka emosi yang berbeda. Kadang kita bertemu mereka dengan kerangka emosi yag kuat, tapi tak sedikit dari mereka memiliki kerangka emosi yang labil.
Adalah wajar jika akupun merasakan hal yang sama. Kerangka emosi bukan seperti kerangka tubuh manusia yang kokoh. Kerangka itu tersusun dari ribuan sel syaraf labil bernama ego. Pertumbuhannya bergantung waktu dan suasana hati.
Dan..
Juga adalah wajar ketika masa itu datang padaku. Syaraf yang tercipta adalah sel-sel labil bernama ego uncontrol. Aku benci pada mereka yang telah berjanji tapi justru melanggar ucapan mereka sendiri. Kalau bukan karena lidah, dengan apalagi manusia bisa dipercaya? Lalu tanpa berdosa menganggap diri benar dan menyalahkan orang lain.
Adalah wajar jika aku memiliki rasa kecewa. Hanya saja sebuah rasa kecewa teramat sulit untuk tergantikan tawa. Kecewa memiliki enzim yang memperlambat berkembangnya sel syaraf positif. Semoga saja ada imun baru yang bisa mempertahankannya.
Kekecewaan memang datang tanpa bisa ditebak. Rekonstruksi imajinasi hanya bisa mengeluh ketika ternyata sketsa yang telah diukir sebelumnya begitu jauh dari fase sempurnanya. Lalu apa mau dikata?
Adalah wajar, jika kita tetap menurut pada emosi dan mengesampingkan rasionalitas. Alam adalah kanvas dan tetap kita sang pelukisnya. Setiap nasib, engkau yang menggenggamnya.

Orang yang terlihat benar, belum tentu dalam koridor yang benar.
Bisa jadi, ia justru sedang mencari pembenaran.

Dunia adalah kanvas dan tetap setiap dari kita adalah pelukisnya. Sedang masalah adalah sebuah proses pendewasaan. Ketika engkau berhasil menyelesaikannya, semua jadi nampak mudah, hidup pun terasa indah. Sedang hidup adalah tempat bermimpi dan ketika terbangun, itu adalah waktu untuk mewujudkannya. Kita memang bukan makhluk sempurna tapi waktu tercipta untuk mengantar kita ke fase kesempurnaannya.
Kesempurnaan itu tidak perlu dicari, ia akan datang bersama kedewasaan yang kian merekah. Merekah laksana bunga yang selalu banggamenjemput pagi. Sebuah pagi yang setia bertasbih. Indah... Semua tidak akan hilang jika engkau tidak melepaskannya. Jadi genggam erat dan jangan pernah kau lepas. Mimpi adalah adrenalin yang memacumu tuk terbangun di setiap pagi, yang menuntut untuk ditemukan. Sepakat?!!

Ketika pandangan seseorang berbeda dengan kita, terkadang yang muncul adalah ego. Ego labil yang tiba-tiba saja merona dan menguasai keadaan. Sering emosi tak tertahan, yang menuntut pagar keangkuhan luluh lantak. Jadilah sebuah individu dengan timbre mental yang goyah, labil dan sangat sensitif.
Ketika pandangan orang lain berbeda dengan kita dan tanpa sengaja kita berdiri pada ruang terpojok, sering sekali pagar ketegaran itu retak, pecah dan roboh. Itu adalah fase ketika emosi yang menjelaga dan setiap individu merasa paling benar, dan berbalik arah menjerumuskan yang lain pada ruang terpojok.
Sebuah kondisi ril pencarian pembenaran. Tiba-tiba saja egoisme personal terlepas dari kontrol, belenggu penahan lepas, pecah dan meledak. Individu keluar dari posisi normalnya dan terlihat sadis memaknai kata dan tingkah. Sebuah partikel ego negatif tereksitasi dan meraja dalam periode yang cukup panjang.

Friday 3 September 2010

Si Waktu Kasib

Hari ini sedang sibuk-sibuknya menyusun laporan pertanggung-jawaban kantor. Sudah kepalang tanggung berjanji akan membereskan semuanya dan setor berkas besok. Bahkan ajakan konferens via ym dengan Haqrah Dewi Safytra dan Inayah Mangkulla kuabaikan. Wih, sok sibuk diriku. Padahal dua alien ini selalu puny ide aneh bin ajaib plus bahasan unik bin seru. Tapi memang benar, saya sedang mengejar waktu. Tidak rela saya ter-diktatori sekian kalinya. Percuma buat perjanjian damai dengan waktu, toh, saya tau pasti se-partisipatif apapun dia, jeda perdetiknya tidak akan berubah. Sedetik ya sedetik tidak ada se-mili second pun yang bisa dia korupsi. Patokannya pasti. Beuuhh, ngemeng apa seh… 

Kembali berusaha fokus pada angka-angka yang berseliweran dak jelas di monitorku. Rasa-rasanya mereka punya kaki-kaki lincah untuk kabur saja. Hufth.. saya berusaha keras menangkapnya. Tapi kembali terusik dengan bunyi “Trash!!” yang berkoar-koar via speaker. Buru-buru cek e-mail, yups..benar saja.. 

“Z merasa x ini miskin sangad buw... FDq diculik orang... entah bgmna nasibnya skg? qra2 bkal dblkin enggak yaa? klow iya, kapan.... msa tiap x btuh data hrus dburning.. jiagghhh... untung z mnyandra bukunya. pling enggak z nda rugi2 amat...
woyyy... jngan pura2 gila. X ini entah sdah X kbrapa z blak(i) mkzr-selyr. so...... when??? u'r book dah usang dah jerit2 minta dblkin ke empunya...”
Wah, my sizta Elye Syamsiani di pulo ternyata… Baru ingat saya, dah berapa bulan tuw FD terbawa dengan sengaja oleh saya. Maaf…maaf… tuo phu chi… sumimassen.. bhiyanneyo… forgive me.. afwan…. Benar-benar hampir lupa. Sama lupanya dengan nasib buku saya yang berkeliaran di pulo nun jauh di selayar sana. Hehehhe, kebiasan barter antar pulo masih terpelihara dengan baik ternyata. 

Sepertinya waktu sedang mengepung saya dari segala arah. Laporan kantor yang mesti ACC besok, padahal belum fix setengahpun. FD yang mesti balik sama empunya nun jauh di pulo dan mengambil kembali buku milik saya yang katanya sudah mulai using dan rindu sama empunya juga. Ini berarti, saya mesti meluangkan waktu ke Makassar. Satu-satunya kesempatan bisa bertemu adalah waktu kasib sekitar lebaran. Masalahnya, habis lebaran, adik saya wisuda. Dan tugas mulia diserahkan pada saya, jaga kandang. Hiekkzzz.. belum lagi jadwal reuni SMU yang juga bersamaan di waktu kasib. Ribetnya lagi, saya ambil jatah seksi sibuk pula. Wadoww.. 

Kali ini benar-benar tidak bisa berdamai dengan waktu. Tapi maunya semua bisa beres dengan baik dan benar. Betapa egoisnya. Hm, tapi manusiawilah.. tidak ada manusia yang sempurna.. justru manusia sempurna sebagai manusia saat ia berada dalam ketidaksempurnaannya. Kalimat itu benar-benar tepat. Ah, akan ku usahakan sebaiknya. Semua pasti beres, wish me luck. Penguasa alam masih bersamaku. ^^

Thursday 2 September 2010

Cliff Muntu, Sepenggal Kenangan


Ini tentang pagi, saat langkah menyatu.. Parade… Pagi selalu sama di 2 tahun pertama, tak lebih dari pergulatan menopang letih. Hanya saja, ada yang beda hari ini dan tak ada yang suka. Merah Putih tidak menyentuh puncak saat Indonesia Raya tamat. Setengah tiang. “Degg!! Apa ini?”. Hanya sedetik, lalu merah putih seakan dikejar binatang menakutkan dan sudah bertengger megah di puncak tiang emas. Upacara senin selesai dalam cekam. Lalu 3500 jiwa itu bubar. Saya pun sama, kuliah menunggu.
Koridor masih penuh, headline hari ini “Merah Putih Setengan Tiang, Selesai Menza, Anggota Pasukan Inti Koreksi Berjamaah”. Sudah resiko sekolah kedinasan, pembinaan fisik mesti ada. Saya memilih menunggu di blok. Ternyata kelas sudah rame,, maklum kelas gabungan dan seperti biasa, langsung ke posisi kaplingan kuliah, sudut tengah baris kedua. Tepat di belakang mengekor kontingen Sulut, mengisi ful saf ketiga. Masih seperti biasa juga, heboh.
“Cliff, ngana tega skali. Masa’ nyanda simpan kita pe foto!” Si juju yang sodara kabupatennya Cliff mulai merajuk. Lalu dengan sigap menukar foto dari dompetnya dan dompet cliff. Mungkin rada aneh, tapi begitulah disini, saudara kabupaten pun saudara kontingen benar-benar bukan orang lain. Setiap dari mereka adalah pelindung bagi yang lain. Yang tidak memahaminya pasti akan tercengang dan menganggap ada hubungan tanda kutip di belakang semua ini. Tapi sayang, anggapan ini salah sama sekali. Saudara, hanya itu.
“Cliff, ngana bercahaya skali ne hari. Ngana carita pakita, sapa nga pe maitua. Deng sokabs juga, nyanda boleh ba tipu!”
“Iyo, jo neh!”, Jilly membenarkan.
“Ah, nyanda kote. Kita nya’ pernah ba tipu pangoni. Kita sayang ta pe putri-putri”, akhirnya buka mulut dia.
“Bah, STPDN Sulut ka…” selorohku.
“Aci, nga mo ganggu Sulut ka? Nyanda ada ngape daeng disini. wakakakkakakak”, lanjut Juju.
“Epenka ju, tra takut kita”, lanjutku sembari bercanda.
Hampir setiap hari berlaku seperti itu. Aerobik pagi, sarapan, upacara atau apel pagi, kuliah, lari siang, makan siang, kuliah lagi, ekskul, makan malam, wajib belajar, apel malam, jaga serambi lalu pagi lagi. Sungguh melelahkan. Di tempat ini semua kontingen sangat kompak. Semacam persatuan tidak sengaja yang masing-masing punya solidaritas tingkat tinggi. Ada juga persatuan antar pulau, seperti Celebes untuk Sulawesi, Borneo untuk Kalimantan, Sumbagut (Sumatera Bagian Utara), Sumbagsel (Sumatera Bagian Selatan), Subejo (Sunda, Betawi, Jowo), Nustra (Nusa Tenggara dan Bali), Molukas (Maluku dan Malut), Papua. Wih, mantaf mengenal semua suku-suku itu.
Pagi di hari ini cepat berlalu, rasa-rasanya jam makan siang datang cepat sekali. Yap, sedikit steling (istilah kampus untuk gerak cepat) karena kuliah mpe siang dan belum lari siang. Menza menunggu, setia bersama telur triplek (sebutan dadar telur yang lebih banyak tepung daripada telurnya), sandal jepit (cornet daging yang modelnya macam sandal jepit, ada lagi yang bilang “serong kiri-serong kanan” gara-gara modelnya yang mencong kiri-kanan mirip posisi persiapan push up), lengkap dengan sayur bening (ful terong dan tauge). Ckckckkckck, oh kepala, tidak bersyukurnya dirimu.
Bel makan berbunyi dan upacara makan di mulai, gerbang utamapun ditutup. Artinya, giliran makanmu tertunda. Dan jika kau praja tingkat satu yang telat, maka habislah. Alamat jadi bulan-bulanan senior. Doktrinnya, Praja Tingkat I alias MUDA tidak boleh telat. Wajib lengkap sebelum senior lengkap, dan baru boleh bubar setelah senior bubar. Dan aturan di atas aturannya adalah junior wajib menunggu dalam keadaan rapi, diam dalam posisi siap. Ckckckckkckck, rasanya tak percaya perempuan ini bisa melewati 4 tahun penuh aturan itu.
Bel berbunyi pertanda makan siang beres. Gerbang utama Menza buka, Fungsionaris out setelah penghormatan ke Garuda si penunggu Menza. Barisan Pataka sudah rapi di gerbang depan, seperti biasa jatah lebih lari siang untuk unit “Pembawa Tanda Kehormatan” si Ekskul bergengsi di kampus. Satu level dengan Drumband Gita Abdi Praja. Terlihat jelas kelelahan. Nampak Cliff juga terengah-engah di baris kedua. Wajar saja, habis kuliah gabungan dan dia sudah berbaris disana lengkap dengan pakaian dinas lapangan (PDL), berarti steling sepersekian detik untuk ganti pakaian di barak yang tempatnya nun jauh di atas sana.
Ritual berikutnya pengecekan, semua sudah berbaris rapi di DP (Daerah Persiapan) masing-masing. Polisi Praja (Polpra), Drumband, Pasukan Inti (Pasti), Komando, Combat, Dispen, BKP, Humas, semuanya. Wajib lengkap di “sejam tengah hari”. Ini hari Senin, dan entah setiap Jumat dan hari ini pelataran Menza akan sangat panas. Seolah-olah bereinkarnasi bak oven-oven pemanggang kanibal. Kanibal meminta sajen kulit ari dari telapak tangan plus desis meringis yang diusahakan sekuat tenaga tidak terdengar dan disembunyikan mimik. Selalu..
Baru push up hitungan ke empat tapi gerbang Menza sudah ribut lagi. Yap, PATAKA beres makan, dan menyesuaikan pengecekan dalam sekejap. Masih sempat menangkap bayangan Cliff yang berlari dari satu DP ke DP, memastikan tidak ada yang terlewat dari pengecekan Drumband, PATAKA, PASTI. Masih sempat berguman “Sungguh kuat dia”, sebelum perempuan ini tenggelam dalam hitungan push up yang entah kenapa tidak pernah mengenal amin. Lalu kembali bergerilya dengan peluh, lagi dan lagi, plus mimik yang dikuat-kuatkan menahan pedihnya telapak tangan yang melepuh. Mencoba membangun stamina dengan bayangan bed empuk di barak, walau pada kenyataannya tidak ada tidur siang disini. Dan pastinya tidak bisa usaha tidur siang sembunyi-sembunyi sebab jadwal kuliah menunggu. Rasanya nafas benar-benar sudah meminta rehat. Di batas sesak, beruntunglah ritual akhirnya usai. Pengecekan sudah wassalam untuk hari ini. Alhamdulillah…
Ritual kuliah siang adalah ritual terberat. Lelah sehabis pengecekan adalah belaian paling tulus mengajak terlelap. Walhasil, ceramah dosen bak dongeng sebelum tidur. Kesadaran benar-benar timbul tenggelam. Seribu kali mencoba melek, seakan-akan beban di pelupuk mata bertambah sepuluh ribu kali lebih berat. Jadilah perempuan ini mati suri di kuliah siang dan terbangun dengan asupan energi “Kekuatan 55” (istilah kampus dan istilah militer untuk power full^^).
Jam-jam sehabis kuliah siang, adalah detik ter-ramai di kampus. Biasanya semua ekskul aktif berlatih. PATAKA dengan Lari 1 Kesatriaan (berkali-kali) yang artinya mengitari seluruh kompleks Kesatriaan STPDN yang luasnya naudzubillah, belum ditambah Lari 1 Parade (berkali-kali) yang kelilingnya hampir sekilo. Lalu konvoi Drumband dari stadion belakang kampus, mengitari parade hingga depan Balairung Rudini, paling seru Latihan Paralayang, Capoera, Silat, Tae Kwondo yang memenuhi Parade, Latihan Voly di Parkir Timur, Basket di belakang barak, Futsall di depan Barak Gorontalo, Tennis Lapangan dekat koperasi, Lari Satmen (Polpra dan Combat), Komando, lalu dinas-dinas dan biro (Dinas Pendidikan, BKP, Protokol, Humas). Tapi yang paling menyenangkan tak lain dan tak bukan adalah ekskul teater, paling bersahabat dan easy going. Makanya aku gabung, hanya saja tidak ikut pengukuhan, jadinya dak dianggap anggota. Hiekzz… (^_^). Lalu petang. Waktu yang selalu serasa tak pernah berlaku mengikuti jarum jam. Selalu berlalu sangat singkat, Makan malam, wajib belajar (kecuali malam Selasa dan Jumat : Kerohanian). Benar-benar hari yang penuh warna, aku suka. Setiap detik penuh cerita yang takkan terlupa.
Mata ini masih sulit tidur, insomnia akut, seperti biasa. Seharian bergerilya bersama peluh ternyata bukan alasan lelap bisa tulus menemani. Saya gelisah. Berkali-kali naik-turun dari bed tingkat (bak di panti asuhan) tidak mengobati gelisah. Memutuskan ke aquarium (Ruang Belajar di Barak), mungkin harus menelpon orang rumah. Aquarium memang lokasi paling aman untuk memakai benda haram di kampus. Yap, Handphone adalah barang haram disini. Ketahuan = pengurangan nilai, jadi TBO (Tukang Bantu Operasional), bisa dibayangkan, jadi kuli kasarlah. Beberapa menyebutkan TBO = Tukang Bikin Onar, nama bekennya KOPASUS, istilah praja untuk Korps Praja Berkasus. TBO berarti cabut pesiar dan wajib laporan per jam. Bisa dibanyangkan, waktu bebas di hari Minggu yang cuma enam jam harus dihabiskan dengan laporan perjam ke perwira piket di pengasuhan. Ckckckkk, whats a hell! Damn it!. Tapi bukan itu intinya, ada sanksi lebih berat saat ketahuan menggunakan HP. Mungkin kau tidak akan percaya. Yah, menghancurkan HP dengan tanganmu sendiri di hadapan pengasuh yang akan memastikan HP benar-benar sudah tidak bisa digunakan.
Lima belas menit, saya berhasil menghubungi rumah nun jauh di Sulawesi, saat teman-teman ribut kalau banyak pengasuh berkeliaran. Katanya ada “kejadian” di barak putra, sebaiknya amankan semua barang “haram” sebelum sidak personil dan sidak barang dilakukan. Dengan hati-hati saya menyimpan ulang “barang haram” di tempat persembunyiannya dan kembali ke bed. Dan benar saja, sedetik kemudian barak ribut. Lampu petak yang wajib padam sejak pukul 10.00 teng, menyala hampir bersamaan. Lalu semua hening “Cliff Muntu telah berpulang”…. Semua beku, hanya isak.
“Edis, kita pe sokab….” tangis Juju pecah. Perempuan ini tersedu.. Semua….

 

Cliff Muntu, 3 tahun tepat 5 bulan kepergianmu, cerita hari itu masih serasa nyata. Saya, Kontingen Sulut, Celebes, Angkatan XVII, Kami tak pernah melupakanmu… 2 April 2007 bukan akhir segalanya, tapi awal dari setiap mimpi di hati sahabat-sahabatmu. Tetap tertanam di benak sahabat dan saudara-saudarimu. Yakinlah engkau tetap hidup di hati Anak-anak Manglayang XVII. Siapa sangka lagu “Layu Sebelum Berkembang” pilihanmu untuk Drumband Gita Abdi XVII akan selalu mengalun lembut dalam raga kami. Selalu terbesit penghormatan besar untukmu, kau hidup meski dalam raga lagu. Seperti kenangan yang hidup dalam “Semua Tentang Kita-Peterpan”. Lagu yang tidak akan terlupa, lagu Menza terakhirmu hari itu, mendengarnya semua akan mengingat satu padamu. Penghormatan besar untukmu, kawan….