Beberapa waktu lalu saya iseng memposting komen di Bloofers (salah satu grup para blogger di FB), saya ngomongnya begini (sambil men-tag sejumlah nama yang sempat saya ingat)
Gayung tersambut, dan beberapa kawan benar-benar menjawab rasa penasaran saya. Mbak Muti dalam "Mengapa saya Menulis??" bilang begini:
"BAGI SAYA MENULIS ADALAH MENCURAHKAN ISI HATI,APA YANG DIRASA, APA YANG DILIHAT , MENUANGKAN IDE YANG SEDANG TERLINTAS DIPIKIRAN SAYA, bagus atau tidak tulisan yang saya tulis tidak mematahkan semangat untuk terus menulis, karena dalam memperoleh sesuatu tidak ada yang instant, segala sesuatu butuh proses".
Ya, itu salah satu bukti bahwa seseorang menulis untuk membumikan pikiran, memastikan setiap cerita tidak berlalu hanya sebagai perkamen-perkamen dalam memori.
Lalu saya tiba-tiba menyadari sesuatu saat membaca "Merajut Mimpi dengan MENULIS" si Efriany 'santi' Susanti. Ia bertutur lugas tentang pengalamannya dalam menulis, pergeseran makna dan kebiasaannya dari sekedar menulis dan menjadi PENULIS. Dari sana, saya menyadari satu hal, bahwa menulis itu bisa terapi emosional, juga berperan besar dalam pembentukan karakter. Kesimpulan saya ternyata sejalan dengan pendapat Andy A. Fairussalam dalam tulisannya "Kuingat lalu Kutulis, Kulupa lalu Lubaca".
"Menulis juga bisa menjadi terapi jiwa. Secara Psikologis, menulis merupakan akses dan komunikasi dengan sisi substansial dari jiwa kita. Menulis juga merupakan media berekspresi, yang secara psikologis memiliki kemampuan menyembuhkan".
Terlepas benar atau tidak tapi otak saya meyakini bahwa menulis memang bisa ber-efek ganda sebagai terapi jiwa. Bagi saya, ini benar-benar bagian yang sangat samar tetapi sangat nyata hasilnya. Beda lagi dengan Bang Fahrie Sadah, saat saya menanyakan hal sama, mengapa saya menulis versi dia, saya disodori tulisan "WriteHolic", lebih banyak menyebutkan manfaat daripada alasannya menulis. Hm, saya berkesimpulan, ia menulis karena asas "manfaat" itu. Di bagian akhir tulisannya menyebutkan bahwa, "Menulis itu .. mengabadikan sejarah". Saya sepakat sekali. Sebab, berada di belahan bumi manapun, di kolong langi sebelah manapun, seseorang sedang dengan sejarahnya sendiri. Yah, karena hidup sejatinya adalah jeda fana saat menoreh sejarah kita masing-masing.
Hari berikutnya, saya mendapat tag postingan dari Sam Chua', menunggu saya mengunjungi "Aku, Tulisanku, Alasanku". Alasannya terjawab dengan gamblang di paragraf pertama, ia menyebutkan seperti ini :
Yah, lagi-lagi tak jauh dari perihal "memastikan kita memiliki softcopy perjalanan hidup kita masing-masing" alias sejarah. Masih sejalan dengan pendapat sebelumnya, Aan Sopiyan mengatakan :
Ada kenikmatan tersendiri ketika melakukannya. Membahasakan hari yang dilalui, petualangan yang dialami, permasalahan kehidupan yang dihadapi dan disaksikan, keluhan, kegelisahan ataupun hanya untuk sekedar berceloteh belaka di atas selembar kertas supaya bisa terhibur oleh kesuntukan.
Yah, lagi-lagi tak jauh dari perihal "memastikan kita memiliki softcopy perjalanan hidup kita masing-masing" alias sejarah. Masih sejalan dengan pendapat sebelumnya, Aan Sopiyan mengatakan :
"Inilah alasan terbesar saya tentang “Mengapa saya menulis?” adalah semoga saya bukan termasuk manusia yang lupa, lupa pada masa kini dan masa lalu. Menulis menjadi sarana yang paling efektif untuk mengingat kehidupan. Kehidupan itu tentu saja tentang pikiran, perasaan, dan pengalaman yang dialami".
Ada bagian yang membuat saya tergelitik (bukan dalam arti sebenarnya) saat membaca "Mengapa Saya Menulis" versi Aan Sopiyan. Ia menyebutkan seperti ini :
"Bagi saya sendiri, saat menulis juga memberikan perasaan kesenangan dan kepuasan. Karena apa? Disanalah saya bisa merasa benar-benar menjadi saya sendiri. Hasil tulisan yang saya tulis itu adalah ternyata saya, dalam tulisan. Setiap kali saat berusaha menulis, saat itu pun saya berusaha memahami diri saya sendiri".
Wah..wah.. saya rasa dari semua alasan inilah hal yang paling pure yang dirasakan seseorang saat menulis. Bahwa hasil tulisan yang ditulis adalah ternyata "saya". Ini harga mutlak, kepuasan personal yang mendasari seseorang untuk terus menulis. Yah, dari sini berangkat sebuah nyawa yang membuat segala hal menjadi mungkin saat berada di atas pena. Saya beranggapan, bagian inilah yang menjadi candu, mengapa sejumlah orang menjadi sangat suka menulis. Sepertinya tidak salah kalau saya menyebutkan menulis itu wisata jiwa.detik ketika benar-benar hanya ada saya dan jiwa saya. :D
Oh, ya. Apa ada yang penasaran dengan "Mengapa Saya Menulis?" versi saya? (Saya mpe khusuk berdoa loh, mudah2an ada yang penasaran :D). Bulan februari lalu saya sudah menuliskannya, coba cek disini. :D
Hm, ada yang ingin saya tambahkan sedikit. Oh, bukan. Saya ingin buka rahasia sedikit.... sedikit saja. Bagi saya, menulis itu benar-benar sesi terbebas seorang "saya". Seperti sedang bermain teater, saat kita "benar-benar menjadi", bukan sedang "berpura-pura menjadi". Itu dua hal yang sangat berbeda bukan? Kalau engkau mengenal teater, maka akan sangat mudah membedakannya.
Nah, lalu... Mengapa Engkau Menulis?
NB : Saya masih menunggu siapa saja yang masih berkenan menuliskan jawaban pertanyaan di atas. :D