Wednesday 26 October 2011

Donny Dhirgantoro, antara "2" dan "5 cm"

Picture Source
Judul : 2
Penulis : Donny Dhirgantoro
Penerbit : Grasindo
Tebal : 418 hal

Sejak launching tanggal 2 Juli 2011 kemarin, saya sudah penasaran dengan buku ini. Bukan tanpa alasan, saya benar-benar menikmati 5 cm milik Donny Dhirgantoro sebelumnya. Serasa kasmaran, terhipnotis dengan penokohan dan gaya bertutur donny lalu tanpa sadar terperangkap dalam ruang pikir seorang donny (mulai ngelantur bin lebay), menanti-nanti apa lagi yang baru dari Donny. Dan akhirnya setelah menunggu 3 bulan, si 2 akhirnya bersanding dengan anggun di rak buku saya. :D
Gusni Annisa Puspita, terlahir dengan berat berat 2 kali dia atas berat badan normal bayi-bayi kebanyakan. Lahir bersama penyakit genetis yang membuatnya kelebihan berat badan, terus naik, tidak pernah turun. Sebuah kelebihan yang juga menjadi keterbatasannya. Gusni kecil adalah gadis berbadan besar dengan cita-cita yang sangat sederhana, ingin bermain bulutangkis dan membahagiakan orang tuanya (bukan ikut-ikutan kakak perempuannya yang telah berhasil menjadi pebulutangkis nasional). Kontras memang. Gusni menyadari tubuhnya tapi tumbuh dalam keluarga dengan perhatian dan kasih sayang penuh tidak membuatnya menyerah, terlebih ketika mengetahui kenyataan dibalik begitu berbedanya ia secara fisik dengan keluarganya yang bertubuh ramping, juga vonis dokter tentang usianya yang tidak panjang. Gusni memilih untuk berjuang melawan penyakitnya, ia ingin hidup, tepatnya memperjuangkan hidupnya, juga cita-cita masa kecilnya yang pernah kandas, bermain bulutangkis.
Seperti novel terdahulu, 5 cm, kali ini Donny masih memperlihatkan karakter yang kuat juga hubungan paling alami antar manusia, "zoon politicon". Bedanya, kalau novel terdahulu membahasakan persahabatan, kali ini beliau lebih fokus membahasakan dimensi yang lebih kecil, keluarga. Apik, bahkan sangat apik bin cantik menurut saya. Di bab-bab awal mungkin akan terasa biasa, penuh lelucon-lelucon khas jaman sekarang yang sedikit terkesan berlebihan. Tapi makin ke belakang, semakin menarik. Seperti biasa, beliau sukses memainkan emosi pembaca (baca: saya), cengar-cengir dan mewek bergantian (semoga bukan mental melankolis saya yang cemen. :D) Saya membacanya di kantor dan walhasil beberapa kali saya harus berpura-pura kelilipan gara-gara mewek.
Ada yang khas dari buku 2 ini, Donny sepertinya menyukai pengulangan. Ada sejumlah kalimat yang sengaja diulang. Kalimat-kalimat positif juga motivatif, terbaca jelas kalau beliau ingin kalimat itu membekas di hati pembaca. Yang kalau kata saya, diulang pada tempat yang seharusnya. Kalimat-kalimat seperti ini:
  • Seperti kebanyakan perempuan Indonesia, ada ketabahan dan kekuatan di raut wajahnya. Tabah dan kuat, bukan pasrah, bukan pula lemah.
  • Karena hanya seorang pengecut mengharapkan hidup yang sempurna
  • Kamu terlahir kembali
  • Mencintai hidup dengan berani
  • Mimpi yang akan ada lagi setiap hari menggantung di depan keningnya. (Seperti dalam buku terdahulu, 5 cm)
Oh, iya. Ada lagi. Beliau sepertinya suka sekali dengan kata lineria matahari dan sansevieria. Dua hal itu sepertinya mendominasi narasi-narasi hampir di setiap babnya. Dan lagi-lagi saya menikmatinya. Dan diatas semua itu, saya paling suka dengan bahasa-bahasa sederhana yang sepertinya begitu akrab di telinga tapi sering terlupakan. Kalimat-kalimat seperti ini :
  • Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia, karena Tuhan sedikitpun tidak pernah
  • Anak-anakmu, menyembuhkanmu...
  • Kadang manusia maunya sesuatu yang tidak mungkin kan?
  • Lebih enak jadi orang gendut, karena ukuran hatinya pasti lebih besar.
Begitu sederhana bukan? Saya yakin ini bukan kali pertama bagi siapapun mendengar kalimat itu. Donny hanya kembali mengingatkan, sebuah kalimat dengan makna yang begitu dalam. Kalau kata saya mah, kalimat-kalimatnya romantis. Emm.. bukankah hal-hal sederhana memang selalu romantis? Setidaknya itu menurut saya. :D

Yang sedikit mengganggu saya. (Sebaiknya tidak usah dibaca)
Gusni adalah gadis berbobot super yang sangat aktif dan lincah. 125 kg dan dia dideskripsikan begitu hebat bermain bulutangkis. Serasa tidak masuk akal tapi justru disitu letak ide cerita Donny, bahwa selalu ada keajaiban. Tapi tetap saja, itu sedikit masih menggangu saya. Terutama bagian ketika Gusni selalu lari pagi dari rumah menuju GOR yang menurut cerita lebih dari 5 km, hampir 6 km malah. Dikisahkan setelah sekian hari jarak itu berhasil ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam (anggap saja setengah jam). Kalau dihitung-hitung dengan anggapan jarak sekitar 5,5 km, maka bisa diperoleh kecepatan sekitar 11 km/jam. Lebih besar dari setengah kecepatan Tirunesh Dibaba (pelari putri pemegang rekor internasional untuk kategori lari jarak jauh, yaitu 21,14 km/jam dalam 14:11.15) dan Trianingsih (pelari putri pemegang rekor nasional untuk lari jarak jauh dengan waktu tempuh 16:49). Bagian ini benar-benar keisengan yang tidak perlu dibaca. :D

Ada sedikit inkonsistensi di buku ini, dari awal Donny menyebutkan bahwa Gusni mengalami gangguan dalam pembakaran lemak tubuh, dan walhasil sejak kecil bobotnya tidak pernah menyusut, bahkan selalu bertambah. Tetapi ada bagian dari buku ini yang mengisahkan berat badan Gusni naik sampai 130 kg setelah ia dirawat seminggu di rumah sakit, lalu lucunya setelah itu dikatakan lagi berat Gusni 125 kg. Memang tidak disebutkan dalam narasi kalau beratnya turun, tapi membandingkan kedua angka itu, kesimpulannya tetap sama, berat Gusni turun. Ah, entahlah. Mungkin saya harus membaca ulang buku ini untuk memastikannya kembali. :D

Lalu kenapa harus "2"??
Awalnya saya menyangka jawabannya ada pada kelahiran Gusni yang disangka anak kembar, tapi ternyata tebakan saya salah. Jawabannya justru tersaji dengan gamblang di halaman-halaman terakhir buku ini. Kalau 5 cm menekankan pada mimpi, tepatnya berani bermimpi, terbangun dengan mimpi yang menggantung di kening setiap pagi maka kali ini, beliau lebih menekankan pada kekuatan imajinasi. Hampir sama tapi beda. Mimpi adalah harapan yang tidak pernah tidur sedangkan kekuatan imajinasi lebih dekat dengan kekuatan pikiran. Saat imajinasi/ pikiran bereaksi, motorik beraksi, seakan mimpi telah berpindah dari alam bawah sadar ke alam nyata. Saat itu semua akan bergerak mewujudkan mimpi. Kekuatan imajinasi, karena kita adalah apa yang kita percayai.

Karena segala sesuatu.....
..... diciptakan
2
kali....
Dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata

Donny Dhirgantoro

NB: Semoga penasaran mencari bukunya, supaya ada yang meluruskan subjektifitas saya pada tulisan Donny. :D

Wednesday 12 October 2011

M..A..T..I...


sudah tujuh hari kamboja mekar disana
subur...
terpupuk belulangmu..


Note : Pict, ngedit dari mbah google

Tuesday 11 October 2011

Jangan Sepelekan Hal Sepele!

Beberapa hari yang lalu saya sempat bepergian ke kabupaten sebelah, kebetulan seorang kawan sesama purna melangsungkan pernikahan dan diprosesikan. Saya dan beberapa kawan sepakat berangkat bersama, tepatnya berempat. Akhirnya sekitar pukul sebelas malam, kami tiba di tujuan. Sedikit berbasa-basi plus say hi pada senior, lalu ngacir masuk kamar, kelelahan. Kawan (bukan purna) saya pun ikut. Kamar itu cukup sederhana, tapi cukuplah untuk dua orang. Memang agak mengecewakan tapi itu sudah lebih dari cukup. Mungkin karena acara disiapkan terbilang terburu-buru dan tidak ada pilihan lain karena Bupati sudah diberitahu, akomodasi tidak disiapkan lebih baik. Saya tidak mau memikirkan apapun lebih jauh saat itu. Intinya cuma satu, tidur dengan tenang.
"Ci, saya keluar sebentar. Mau ketemu kawan, katanya rumahnya sekitar sini".
Saya mah oke-oke saja, tak masalah.
"Kunci kamar kek mana? Saya kunci saja atau bagaimana?"
"Kunci saja, nanti diketok. Dak pa-pa kan ditinggal sendiri??"
"Okey, santai ja".
Sebenarnya saya benar-benar mengantuk, tapi demi menunggu kawan saya mati-matian menahan kantuk dan dingin. Pukul 12 teng.. masih sepi.. tidak ada tanda-tanda dia kembali. Hampir menyerah dan lagi hidung saya sudah tidak bisa kompromi dengan udara ekstrim toraja. 12.30.. masih.. pukul 1 dini hari.. 1.30... 2.00.... masih... Saya menyerah.

Sudah hakikatnya, setiap manusia selalu menginginkan kenyamanan-kenyamanan untuk pribadinya masing-masing. Terlepas dari benar atau salah dalam mengusahakannya. Yang pasti, manusia dibekali kemampuan berusaha, mencoba setiap peruntungan, mendobrak keterbatasan bahkan hal ekstrim sekalipun, demi perbaikan nasib. (Sekali lagi terlepas benar atau salah cara yang dipilih untuk mewujudkannya). Hanya saja, hampir terlupa bahwa setiap dari kita tidak hidup sendiri. Fana ini adalah ekosistem, tempat sejumlah komunitas atau kelompok sosial bermukim dan lebih banyak lagi keinginan-keinginan individual didalamnya. Saya tidak sedang membicarakan tentang strata pun tingkat-tingkat sosial masyarakat. Ini tentang toleransi dan hubungan sosial antar sesama, yang (lagi-lagi) hampir selalu terlupakan.

Kita -manusia- dihubungkan dengan sesama oleh aturan-aturan tertentu, tertulis atau tidak, itu harga mutlak. Dan di khatulistiwa ini, kita terikat pada budaya ke-timur-an yang lebih banyak dalam bentuk norma kesopanan dan kesusilaan, tidak tertulis. Bukankah itu yang membuat kita dikenal dengan budaya timur yang anggun. Masalahnya sekarang, benarkah kita sudah melakukannya? Setidaknya mencoba mempraktekkan dalam keseharian kita. Cukuplah dari hal-hal kecil, untuk sejenak melupakan ego pribadi dan lebih menghargai orang lain. Ini benar-benar sedang membicarai sesuatu yang umum, yang saya yakin telah dihafal luar kepala oleh siapapun, tetapi apa itu jaminan bahwa kita telah melakukannya? Tidak.

Sungguh, saya sangat tidak suka hal-hal seperti ini. Apa salahnya jujur bila memang menginginkan kenyamanan-kenyamanan lain. Kamar itu memang sederhana tapi bukan berarti harus berbohong, apa susahnya mengirim SMS dan mengatakan alasan yang masuk akal. Saya pasti maklum. Toh, itu yang saya lakukan selama ini. Egoiskah bila saya juga menginginkan hal-hal kecil ini dilakukan orang lain untuk saya. Ah, bukan orang lain tapi kawan saya. Saya mendadak ingat ucapan kawan saya tempo hari saat berdiskusi, kira-kira seperti ini:

Kalau bukan karena lidah, dengan apalagi orang dapat dipercaya??

Lalu dimana norma kesopanan dan kesusilaan yang katanya sangat anggun dalam budaya ke-timur-an kita?? Ah, selalu saja. Hal-hal kecil terlupakan begitu saja, bahkan lupa bahwa banyak hal-hal besar berakar dari sana.


NB: Sebagai pengingat untuk saya dan semua. Semoga hal "sepele" seperti ini tidak terjadi pada anda. Sungguh, rasanya menyebalkan. Ini manusiawinya manusia.

Thursday 6 October 2011

Ini (Bukan) Review!

Horee... 
Akhirnya setelah 15 hari pensiun menyetor postingan di blog, saya bisa OL dan main di lapak ini lagi. 
Wih.. Alhamdulillah yaaa... sesuatu banget.. :D
Saya benar-benar senang. Bukan tanpa alasan, setelah sekian kemalangan yang tak putus-putusnya mendera saya (sesi lebay), akhirnya lepti saya benar-benar bisa bangun dari mati surinya. Entah bagaimana puyengnya saya beberapa waktu lalu, ketika adrenalin sedang ful-fulnya a.k.a semangat 45 membuat postingan baru, tiba-tiba si lepti kolaps, mendadak ngambek bahkan tidak sudi memunculkan BIOS untuk saya. Sedikit was-was, jangan-jangan dianya sedang meregang nyawa, something happen dengan motherboardnya. Waduh setress.. Syukurlah setelah pensiun menjajah lepti beberapa hari, BIOS berkenan mampir. Maraton dah install ulang. Begitu beres tiba-tiba.. Plup!! Kabel carge-nya koslet. Hadehhh.. Parah bener. Jadi wajarlah, ketika semua sudah normal kembali, senangnya rada lebay.

Mungkin bagi sebagian orang, berhenti dari aktivitas dunia maya bukanlah masalah. Toh, setiap dari kita disuguhi bahkan menjalani scene-scene hidup yang hampir selalu berbeda tiap harinya. Saya?? Yah, sekalipun keseharian saya tidak bisa dibilang membosankan tapi entah sejak kapan, saya merasa dunia maya itu sebuah kebutuhan. Saya lupa tepatnya kapan, rasanya menyenangkan sekali bisa googling kesana kemari. Bukankah sebuah kepuasan ketika kita tertarik pada suatu hal, lalu mencari tahu dan menemukan yang kita inginkan? Apa ada yang sependapat? (Semoga saja. :))
Dunia tak selebar matamu, selebar monitormu, sayang... :D
Yah, itu menurut saya. Dan sepertinya pendapat ini muncul sebagai "efek domino" dari kebiasaan saya mencatat apapun yang belum saya tahu. Yah, keingintahuan ternyata punya sayap-sayap yang hampir tidak selalu bisa dikendalikan, bekerja dengan caranya sendiri sebelum kita sendiri sadar sudah terperangkap untuk ingin tahu.
Tiga senjata ampuh saat mengeksekusi buku, notebook, pena dan pembatas buku.  Kalau lengkap baru dah afdol. :D

Setidaknya saya bersyukur, pensiun (sementara) dari aktivitas googling membuat list googling-an saya makin numpuk. Loh, kok?? Pensiun ternyata membuat kepala saya justru terbangun dari amnesia, saya kembali kasmaran dengan buku-buku (fiksi dan non fiksi) yang hampir terlupakan. Beberapa diantaranya belum ditamatkan, bahkan ada beberapa yang masih perawan. Hadehh..

Beberapa buku yang belum sempat dieksekusi

Ckckckckck... ternyata lumayan juga yang terlupakan.
  1. Mitologi Yunani, literatur bagi saya, dewa, dewi dan kisahnya, bahasan yang selalu saya suka. Apa saya suka sejarah? Tidak. Dulu, bahkan saya selalu kabur ke kursi belakang setiap pelajaran sejarah, dan satu-satunya yang membuat saya bertahan di kursi depan saat Pak guru menjelaskan peradaban Romawi dan Yunani termasuk mitologi tentunya.  Untuk pertama kalinya saya merasa sejarah seperti dongeng 1001 malam, dan lagi kisah Julius Caesar benar-benar mengasikkan. Buku ini bertutur dengan sangat efisien tanpa harus kebingungan mencari ujung atau pangkal, sangat berbeda dengan penuturan buku-buku sejarah jaman sekolah. :D
  2. Infinitum. Saya kok merasa salah membeli buku. Seolah-olah terperdaya begitu banyak kalimat manis di sampulnya, seperti "Tak semua pencarian berjalan ke depan, kadang sebuah pencarian harus berjalan ke belakang, menemukan  masa depan pada kisah kenangan......", dll. Ini novel cinta, dan hampir penuh kalimat gombal. Tepatnya bukan selera saya, tapi penggemar gibran harusnya suka buku ini. 
  3. Babad Tanah Jawi. Ini asli sejarah tanah jawa. Lucunya saya tiba-tiba tertarik untuk tahu banyak tentang tanah jawa setelah membaca Bilangan Fu-nya Ayu Utami. Berniat menelusuri kepandaian wanita sastra satu itu, bahkan saya sampai merepotkan seorang kawan dari kudus untuk menemukan buku ini. Dan hasilnya? Hahahhaha.. Saya angkat tangan. Tiba-tiba kapok baca setelah sampai pada kenyataan terlalu banyak keturunan hasil poligami raja-raja jaman dulu. Saya kesulitan menghafal namanya satu-satu. 
  4. Chicken Soup For The Soul, Mensyukuri nikmat. Ini benar-benar belum tersentuh. Pending.
  5. Orang Cacat Dilarang Sekolah. Judulnya benar-benar provokatif bukan? Senasib dengan Chicken Soup, ini masih perawan. Tapi saya masih yakin, buku ini sangat inspirasional.
  6. Foucault's Pendulum, sebuah novel konspirasi yang melibatkan perkumpulan rahasia dunia. Ditulis oleh Umberto Eco,  penulis bukunya sama dengan novel "The Name of The Rose". Membaca buku ini seperti membaca glosarium dalam bentuk paragraf. Bab-bab awal benar-benar berat. Ini salah satu alasan yang membuat list googlingan-ku membengkak. Bahasa dan bahasannya tingkat tinggi, kepala saya tidak cukup hebat untuk bisa mencernanya dengan baik. Karenanya buku ini pun penting hingga list googling-an saya beres dulu. :D
  7. The Winner Stands Alone, Paulo Coelho. Seperti buku-buku Coelho sebelum-sebelumnya. Selalu menarik. Saya suka koherensinya, bertutur dengan sangat efektif. Semacam berpelesir ke seantero dunia, tetapi selalu saja menemukan jalan pulang. Apa yah? Lagi-lagi saya kesulitan. Inti na mah, Paulo Coelho buangett. :D 

NB: Sekalipun dari awal postingan mpe akhir, tulisan ini dak jelas juntrungannya (:D) tapi saya masih ingin menegaskan satu hal.>> Ini bukan review, hanya komentar seorang amatiran tentang buku dari persfektifnya sendiri. Hehheheh.. Seperti biasa, ini subjektifnya seorang Accilong. Blog kan ladang bebas, setiap orang masih sah-sah saja berpendapat. :D