Beberapa waktu lalu saya BW-an ke blog kawan dan bertemu sebuah artikel singkat "Tak Berjudul, Cuma Tanya "di rumah Sam Chua. Jujur saja, postingan singkat-nya membuat saya sedikit kepikiran. Berikut contekannya :
mereka yang selalu merasakan kehadiran-Nya dalam tiap hembusan nafasnya
mereka yang selalu tegar akan setiap keputusan hidupnya
mereka yang selalu mawas akan setiap tindakannya
mereka yang selalu tersenyum dalam setiap pahitnya kehidupan
mereka yang selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya
mereka yang tak pernah menampakkan rasa adanya penderitaan
mereka yang tidak pernah memperlihatkan keluhan dalam rautnya
mereka yang tak melupaan perih dalam gelegar tawanya
Apakah itu sebentuk defenisi kebahagian bagi mereka?
sesekali ingin memusingkan hidupnya hanya untuk sekedar bertanya, "Bagaimana caranya?"
Refleks saya komen seperti ini:
Benar-benar dualisme rasa, entah karena sengaja berpura-pura atau terpaksa berpura-pura, tapi untuk kasus di atas saya angkat topi. Betapa hebatnya bisa menyembunyikan masalah dalam "bahagia". Em.. apa itu pantas disebut hebat apa tidak yah? Bukankah sejatinya esensi kebahagiaan adalah rasa, ketika hanya ada nikmat dan bukan berpura-pura merasakan nikmat. Tapi juga tidak menutup kemungkinan, ada orang di luar sana yang bisa bahagia saat berpura-pura. Lalu apa sebenarnya bahagia??
Yah, hampir pasti setiap dari kita pernah mengenal -bahkan mungkin dirinya sendiri- adalah spesies ini. Yang menyimpan ribuan kisah yang sengaja dikemuflase sedemikian cantik dibalik topeng "saya baik-baik saja". Hebat, itu kata yang paling cepat dipilih otak saya untuk mewakili mereka. Toh, dunia kerja kita sedang krisis dan butuh suplay manusia spesies ini, mereka yang benar-benar profesional. Tapi tetap saja, ada yang menggelitik saya.
Ada sedikit penasaran dengan bagaimana perasaan mereka? Bahagiakah? Bukankah ruang dan dimensi boleh berganti, topeng berganti tapi hati itu kan masih hati sama, masih hati dengan masalah dan beban yang sama sebelumnya. Apa harus merasa bangga karena menipu dunia atau harus mengurut dada, merasa bejat telah memperdaya hati? ah, entahlah. Saya selalu meyakini bahwa esensi kebahagiaan itu adalah rasa, ketika benar-benar hanya "nikmat" dan bukan sedang berpura-pura merasakan nikmat. Itu berlaku kapanpun, untuk alasan profesional sekalipun. Atau mungkin kita memang harus "bejat" untuk jadi profesional. Sun Tzu saja dalam 36 strategi perangnya menyertakan ini sebagai salah satu strategi untuk menang.
Ada sedikit penasaran dengan bagaimana perasaan mereka? Bahagiakah? Bukankah ruang dan dimensi boleh berganti, topeng berganti tapi hati itu kan masih hati sama, masih hati dengan masalah dan beban yang sama sebelumnya. Apa harus merasa bangga karena menipu dunia atau harus mengurut dada, merasa bejat telah memperdaya hati? ah, entahlah. Saya selalu meyakini bahwa esensi kebahagiaan itu adalah rasa, ketika benar-benar hanya "nikmat" dan bukan sedang berpura-pura merasakan nikmat. Itu berlaku kapanpun, untuk alasan profesional sekalipun. Atau mungkin kita memang harus "bejat" untuk jadi profesional. Sun Tzu saja dalam 36 strategi perangnya menyertakan ini sebagai salah satu strategi untuk menang.
"Perdaya langit untuk melintasi samudera", bergerak dalam kegelapan atau bersembunyi justru membuat "langit" curiga. Akan lebih aman bila menyembunyikan maksud dalam topeng beraktivitas biasa sehari-hari.
Hebat..., kita sudah belajar memanipulasi sejak jaman dulu ternyata. :) Tapi tetap saja, saya salut dengan orang-orang spesies ini. Postingan Sam kemarin mau tidak mau mengingatkan saya pada Lady Mi Shil, wanita cerdas, tangguh dan anggun jaman kerajaan Shilla (sejarah joseon/ korea).
~Iya, yang di Queen Seon Doek itu loh ^^~
Saya benar-benar salut dengan wanita satu ini. Sifat fokus, cerdas, tegas, idealis, dan tidak pernah ragu dari seorang Mi shil benar-benar tiket mantab membawanya menjadi wanita yang berpengaruh di jamannya. Ia bahkan bersedia membuang putranya demi ambisinya (wih, ketegasan yang mengerikan). Sekalipun memiliki kesalahan mengenai tujuan hidupnya, tapi sejarah mencatat dia benar-benar wanita yang sangat berkarakter. Bahkan dirinyalah yang sebenarnya (disadari atau tidak) banyak membantu Deok Man menjadi seorang pemimpin tangguh sebagai ratu pertama yang memerintah Silla. Go Hyeon Jeong as Lady Mi Shil dalam The Great Queen Seon Seok |
Lalu apa kesimpulannya?
Tidak ada.
Sebab peranti lunak bernama hati yang ditanam Tuhan dalam dada manusia selalu punya otoritas super duper kuat atas dirinya sendiri, tidak bisa dipelajari, dijabarkan pun diuraikan dalam persamaan sesederhana apapun.
Lalu apa gunanya postingan ini?
Heheheh.. hanya mengingatkan akan sangat sulit membicarakan "bahagia" atau apapun itu, karena kita selalu dihadapkan pada sudut pandang yang berbeda.
Tapi ini juga berarti, kesulitan apapun di luar sana akan bisa diatasi dengan mengubah sudut pandang. Tergantung lebih kuat mana logika atau hati anda.
So, hati-hati dengan sudut pandang anda. Setelah yakin dengan pilihan, bersiaplah "memanipulasi hati", dan pastikan anda berani menahan konsekuensi apapun.
Semua perubahan berangkat dari sebuah pilihan, yang dimulai dengan sebuah keputusan. :)
Hm, mungkin saya harus mengakui satu hal, seperti kata Dhenok Habibie:
Kebahagian tidak harus diukur dengan wajah sumringah, tawa lebar dan sebagainya.
Just enjoy your live, dude!! :D