Monday 12 November 2012

Check Your Priority!

Pict from here 
Saya paling tidak suka dengan orang-orang yang tidak bisa bekerja berdasarkan prioritas. Dalam kondisi biasa mungkin saya akan maklum tapi ketika dihadapkan dengan waktu yang kasib/ singkat, kejar deadline, saya rasa prioritas menjadi wajib. Seorang perempuan, yang konon katanya dikaruniai Sang Pencipta dengan kemampuan multitasking harusnya bisa melakukannya dengan lebih baik. Kalau sudah demikian, bukankah kolaborasi keduanya adalah aset yang sangat potensial?? Saya rasa, punya kemampuan multitasking yang lebih baik ditambah bekerja berdasarkan prioritas, apapun bisa dimaksimalkan. Betapa sia-sianya jika dua  hal itu dibiarkan percuma. Mubadzir. Kita harus mulai belajar memaksimalkan apapun yang kita punya untuk pencapaian terbaik. Saya tidak berani bilang akan selalu berhasil (toh, berhasil atau tidak selalu ada campur tangan Tuhan), juga tidak berani bilang kalau saya orang paling ahli dalam urusan itu tapi saat keduanya dilakukan, setidaknya saat kita mengusahakannya, punya keinginan melakukannya, saya percaya, hasilnya pasti maksimal. 

Yah, saya sedang kesal. Sungguh, saya menjadi kesal saat itu disia-siakan. Mungkin saya terlalu perfeksionis. Tapi salahkah menginginkan yang terbaik untuk orang-orang sekitar kita? Saya tidak akan bercerita detailnya, yang pasti kali ini saya benar-benar kesal. Dan maaf, tidak seharusnya berbagi hal seperti ini disini. Tapi saya pikir, mungkin saja, ada yang bisa mengambil hikmah dari kekesalan saya. Benar-benar maaf.

Tuesday 6 November 2012

Do People Judge Books by Its Cover?

Celoteh dini hari.
Ayo hitung... 
Berapa banyak kali dirimu terjebak untuk menilai seseorang secara subjektif? : )

Saya hampir selalu subjektif menilai seseorang, misalnya saja Indra Herlambang (postingan kemarin) atau si Aming, bahkan Rieke Dyah Pitaloka "si Oneng" yang anggota DPR tuw. Objektifitas baru muncul ketika kita menemukan novum (bukti baru) yang seolah-olah membuyarkan wujud fisik dari mindset yang sudah mengakar sebelumnya. Atau kalau tidak, secara alami, objektifitas akan muncul ketika ada perbandingan antar objek.  Duh, bahasanya ribet yakz. 

Nyolong gambar dari mbah google

Sebut saja Mbak Rieke "si Oneng" (Wih, mantabz bener ibu satu ni).  Dulu, dulu sekali, saya tidak pernah menyangka kalau si oneng nan oon (istri bang bajuri di bajaj bajuri) adalah jebolan S2 filsafat UI. Pengetahuan saya tentangnya hanya sebatas, ia seleb dan suka teater. Kecintaannya pada seni benar-benar "sesuatu". Jaman ngampus di jatinenjer, saya kadang ijin keluar demi melihat bagaimana khusuknya mbak rieke saat pentas). Dia total, saya suka, apalagi kalau sudah adu akting dengan Ria Irawan. Mantabz bener. Mendadak merindukan beliau memperkosa ekspresi di atas pentas. Kalau saya boleh diberikan kesempatan menilai kualitas aktingnya, sepertinya saya akan mengatakan bahwa ia pantas berada di level dimana Christina Hakim, Ria Irawan, Dian Sastro, Nicholas Saputra, atau Matias Muchus berada. #Skip

Dan, sama tidak percayanya ketika seorang kawan mengenalkan saya pada salah satu tulisannya, “Renungan kloset : Dari cengkeh sampai utrech”. Bagi saya, kumpulan puisinya itu brilliant. Yah, saya selalu memiliki pandangan yang sedikit “wah” pada mereka yang suka menulis pun mencintai sastra. Agak  sulit menjelaskan mengapa, bagi beberapa orang itu mungkin biasa saja, tapi kepala saya menganggap itu kompleks, unik, mengkolaborasi hampir setiap elemen krusial, intuitif, sisi psikis, intelektual dan ah, entahlah. Kompleks yang elegan. Saya sedang tidak ingin membicarakan itu. Sangat disayangkan, sekarang saya hanya mampu mempelototi kisahnya dalam episode-episode telenovela politik Indonesia. Saya jadi penasaran dengan tesis beliau “Banalitas Kejahatan: Aku yang tak mengenal Diriku, telaah Hannah Arendt Perihal Kekerasan negara” yang bahkan oleh Galang Press diterbitkan dalam buku dengan judul “Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat”. Kapan hari, saya akan lebih bersemangat mencari buku ini. 

Do people judge books by its cover??

Judge bisa jadi adalah elemen kecil subjektifitas. Kalau saja subjektifitas adalah atom, maka dalam sepersekian nano atom, judge bertakhta dengan sempurna. Ia ada, dalam kuantitas minor. Koloninya kecil tapi juga jadi pembentuk subjektifitas. Dan tanpa peduli berapa kuantitasnya, saya menganggap itu sama. perbedaannya hanyalah judge lahir lebih dahulu, setelah sekian waktu berlalu, subjektifitas ada di belakangnya, mengekor dengan pasti. Karenanya saat pertanyaan itu ditujukan pada saya, jawabannya adalah iya.

Yah.. banyak kali. Terlebih lagi saya ada kebiasaan suka memperhatikan orang lain. Tingkah laku, gaya bicara, bahasa tubuh, punggung dan gaya berjalan (khusus dua yang bontot sudah jadi kebiasaan sejak mata kena vonis miopi, sangat membantu mengenali seseorang). Bedanya, saya membuat kesimpulan tentang seseorang setelah (setidaknya) 3 kali bersama-sama secara intens, dengan atau tidak dalam suasana hati yang sama. Kalau sudah demikian, sedikit banyak sifat dan kebiasaannya pasti ketahuan dan dengan asyiknya saya akan mengumpulkan satu demi satu kesimpulan. Artinya subjektifitas (saya) tumbuh dari sekian banyak judge yang muncul secara kontinu dan konstan. Meski begitu, nilai kebenarannya tentu saja tidak selalu valid. Yang valid adalah bentukan mindset di kepala saya tentang objek tersebut.

For example, sempat mengecap sekolah berasrama dengan kawan dari hampir setiap suku yang Indonesia, seolah-olah membuat saya panen hobi memperhatikan orang tiap hari. Bahkan tak jarang saya sengaja meluangkan waktu (biasanya lepas lari siang) sengaja duduk-duduk di ruang belajar, atau teras depan hanya untuk memperhatikan tingkah kawan atau adik tingkat di pelataran barak. #kurang kerjaan. 
Ruang belajar di barak, meja punya saya pas di sudut dekat jendela, pas bener buat  nongkrongin  kawan atau siapapun yang  lalu lalang depan barak plus portal bawah. 
Yah, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu sepanjang 3 1/2 tahun membuat saya memahami sedikit banyak sifat dan karakter kawan, hingga menarik semacam garis karakter per pulau, per suku. Yang paling saya yakini hingga saat ini bahwa orang Sulawesi Selatan (Bugis atau Makassar), Medan (Batak), Sumsel (Melayu Ilir) dan Papua adalah empat suku yang paling bisa memahami emosi masing-masing (Ini bukan postingan SARA, no bash). Maksud saya, keempatnya memiliki tipikal bahasa verbal yang hampir sama. Lebih mudah untuk memahami satu sama lain. Sangat subjektif.

Cerita sedikit, awal-awal kuliah (tingkat satu) keempat suku tadi paling sering berselisih faham dengan kawan dari jawa. Mungkin semacam "culture shock". Perbedaan mencolok diantaranya punya potensi bergesekan. Keempat suku sebelumnya punya timbre suara yang menghentak, sedikit tinggi, cenderung ribut, sedangkan Jawa terkenal dengan bahasa verbalnya yang lembut apalagi Sunda (sampai sekarang saya masih bingung, kenapa laki Jawa sama neng sunda susah akurnya? Kekal bener kayaknya kisah Hayam Wuruk dan putri Dyah Pitaloka. Gak nyambung. #Skip). Ini baru sisi verbal, belum non verbalnya. Saat mereka bertemu, tanpa pengenalan sebelumnya, pun persiapan mental yang baik, ditambah chauvimisme yang mendalam, bukanlah hal yang mudah untuk selalu menciptakan damai. Syukurlah, sekolah dibentuk oleh sistem yang membuat semuanya padu perlahan-lahan.

Last.
Bagi saya, manusia secara individual selalu menjadi bagian yang paling menarik. Bahwa siapapun selalu memiliki sesuatu yang mengejutkan. Judge, subjektifitas termasuk didalamnya. Dan jiwa manusia sejatinya penuh dengan itu. Tidak perlu munafik, saya, anda, dan semua adalah jazad seperti itu. Perbedaannya hanyalah sudut pandang dan kematangan novum sebelum menyimpulkan. Tapi yang pasti, "Judging a person does not define who they are... it defines who you are". 

Random :
Dini hari, kepala bukannya makin cling, malah nyerempet kemana-mana.