"Karena manusia bukan mesin atau mainan yang dibuat di pabrik, mereka spesial dan rumit. Apa yang menjadi tujuan hidup, keinginan bahkan kelemahan sekalipun, menunjukkan bahwa manusia itu unik dan memiliki kualitas berbeda-beda satu dengan yang lain. Kau harus mengamati cukup lama, hanya untuk bisa melihat garis luarnya".
Go Dok Mi
~Quote adaptation~
Setelah sekian tahun, akhirnya Jumat kemarin saya ngurus SIM. Parah, benar-benar warga negara yang tidak patut dicontoh, hehheh. Berdua dengan kawan, dengan PeDe-nya mampir ke Polres, boncengan dan sama-sama belum punya SIM (quote "tempat berbahaya adalah tempat paling aman" terbukti benar. :D). Tapi bukan itu intinya. Sembari menunggu antrian, kawan saya banyak bercerita. Tentang kisahnya yang kena tilang berkali-kali, STNK disita, sampai pekerjaannya yang bejibun di kantor. Mungkin secara kasat mata, amanah di pundak saya lebih besar, tapi bicara volume kerja, 11-12 lah.
|
with fren, before lunch |
Ia berkisah, awal-awal bekerja (2 tahun lalu), semua serba tidak biasa, semua serba butuh penyesuaian. Yang paling terasa adalah cara memanggil atasan (kesulitan yang sama saat saya masih di BKD). Di tempatnya, kebetulan yang menjadi atasan adalah keturunan bangsawan daerah. Bagi orang "enrekang" biasanya dipanggil dengan sebutan "puang". Istilah yang sangat tidak fasih bagi lidah seperti kami yang tidak awam dengan sebutan-sebutan itu. (Kebetulan kami berdua bermukim di kecamatan sebelah yang sudah tidak kental dengan primordialis). Seperti evolusi, kemajemukan secara perlahan memberikan didikan yang tanpa sadar menggeser hal-hal lokal dan terbiasa dengan kesetaraan. Dan walhasil, orang-orang dari tempat saya lebih terbiasa dengan protokoler resmi dan memakai panggilan umum kepada atasan sebagai "Bapak" atau "Ibu".
Saya tidak sedang memposisikan diri untuk membedah primordialis ke ranah positif atau negatif. Atau bisa jadi bahasa saya yang terlalu radikal, menyebut kearifan lokal sebagai primordialis. Pada dasarnya, pemanggilan gelar daerah sebenarnya bukan masalah, malah makin kesini rasa-rasanya makin perlu untuk melestarikannya. Celahnya adalah beberapa person menjadikan "gelar" sebagai keharusan, entah itu gelar kebangsawanan, sejumlah tittle di depan atau di belakang nama sebagai sebuah prestise yang paten. Tanpa sadar diperbudak gelar. Naudzubillah.
Mendadak saya ingat jaman kuliah pernah bertemu seorang dosen yang tidak mau meladeni pertanyaan saya, hanya karena saya tidak memanggilnya "prof" dan malah memanggilnya "pak". Awalnya saya pikir, mungkin saya kelewat dzu'udzon tapi begitu kawan saya di kelas berbeda juga mengalami hal sama pada dosen yang sama saya mulai mahfum. Toh, prof adalah titel yang tidak murah. Lain lagi kebiasaan orang-orang di tempat saya. Saban hari saya ke kondangan, saya seperti melihat "emosi" yang berbeda dari penerima tamu saat menyalami tamu-tamu bertitel haji/ hajah, kalau tokoh masyarakat sudah pasti beda lah yah. Timbul kesan, untuk saat ini "berhaji ke tanah suci" bisa jadi batu loncatan baru untuk meningkatkan gengsi dalam bermasyarakat. Semoga saya salah.
Lebih jauh, kawan saya berbagi tentang betapa seringnya dia disalahpahami. Orang-orang sepertinya terlalu nyaman untuk tumbuh dengan subjektifitasnya sendiri, katanya. Saya langsung mengiyakan. Toh, saya salah satunya. Bedanya, mungkin hanya di kadar waktu dan seberapa banyak fakta yang mewakili sebelum saya benar-benar menyimpulkan sesuatu.
Dari kisah-kisahnya, saya semakin banyak belajar, Kita tidak pernah benar-benar tahu seperti apa seseorang, selama ia masih dibangun oleh "chip" bernama hati. Tidak ada alat ukur valid. Bahkan keimanan manusia begitu mudah goyah, karena hati tempatnya sesuatu untuk tumbuh dan dibolak-balik. Yang dilakukan manusia hanyalah menunjuk dan mengklasifikasi orang-orang yang menjadi pemeran utama ataupun figuran dalam hidupnya, ironi yang sekaligus memastikan bahwa kita sedang duduk manis di barisan penonton. Bukan tugas kita untuk menilai saya atau anda seperti apa, cukup memusingkan ingin seperti apa kita diingat dan dikenang orang-orang di sekitar kita, think it, became it, do it.