Friday 29 November 2013

Sepotong kisah yang entah, pagi tadi..

Sore hari di beranda, dengan segelas kopi dan sedikit cemilan. Damai. Tetapi hanya untuk sejenak. Tetiba mengingat kejadian tadi pagi di kantor. 

Sepasang suami istri datang menghadap pak lurah. Beberapa waktu lalu sang suami pernah ke kantor, meminta dibuatkan surat pengantar nikah, saya sempat mengecek status di kartu keluarga, cerai mati. Tidak langsung di acc, gelagatnya rada aneh, feeling saya ada yang tidak beres. Dan benar saja, setelah bertanya-tanya kepada beberapa tokoh masyarakat di lingkungannya, saya baru tahu kalau ternyata si suami ini sudah pernah menikah lagi tapi secara siri dengan seorang wanita, sebut saja si A. Istri yang datang bersamanya hari ini. Ternyata keperluannya mengurus pengantar beberapa waktu lalu adalah untuk menikah lagi dengan seorang wanita sebut saja si B. 

Hari ini keduanya datang untuk mengkonfirmasi hubungan keduanya. Sedikit berpanjang lebar, akhirnya sang istri sepakat membuat surat pernyataan bahwa ia bersedia merelakan suami menikah lagi dengan B. Sang suami tersenyum, sang istri mengejap-ngejapkan matanya yang mulai memerah. Saya rasa tabungan pelumas matanya akan tumpah. Ini bagian yang tidak saya suka, saya tidak tahan, lalu bergegas ke ruang sebelah melakukan entah apa. 

Tidak lama sang istri menyambangi saya di ruangan sebelah, minta tolong dibuatkan surat pernyataan yang dimaksud. Apesnya, dia curhat, dengan sesegukan. God, bagian ini lebih tidak enak lagi, saya berusaha menanggapi sehalus mungkin, dan tidak terbawa suasana sebisanya. Saya paling tidak tahan mendengar seseorang menangis. Beruntung konsep surat yang dimintanya cepat selesai. 

Obrolan mereka dengan pak lurah masih berlanjut, dan tahulah sekarang ternyata sang suami itu berniat menikah lagi dengan si B tanpa menceraikan istrinya, si A. Kalau itu terjadi, artinya si A tetap berstatus sebagai istri tapi dengan status tidak sah di depan hukum. Sedang si B akan memiliki status resmi sebagai istri sah. Saya mendengar pak lurah terdiam. Lama. Lalu sejurus kemudian beliau memanggil saya, sekedar minta pendapat. Saya hanya bisa mengatakan, mungkin harus konfirmasi dulu dengan pihak si B, apa dia dan keluarganya sudah tahu kalau si suami akan menikahinya tanpa menceraikan si A. Pak lurah mahfum dan meminta berbicara dengan keluarga si B via telpon. Setelah dikonfirmasi kenyataannya, mereka belum tahu. 

Telpon ditutup dan pembicaraan berlanjut, dengan saya disana. Masih. Pak lurah hanya bertanya singkat, jadi bagaimana pak? Lalu dengan enteng si suami berkata, kalau begitu ceraikan saja istri saya ini. Sumpah, dia mengatakannya seolah-olah itu bukan hal yang luar biasa. Si istri hanya menunduk, memainkan kunci motor sembari lagi-lagi mengejap-ngejapkan matanya. Tuhaaaaan.., hati saya yang menyaksikannya bergemuruh tidak karuan, bisa-bisanya semudah itu. Pak lurah? Sama, ia berkali-kali mengejap-ngejapkan matanya seolah mempertahankan tatanan otot wajahnya tetap pada posisinya. 

Saya ke ruang sebelah lagi. Dan sang istri mengekor di belakang saya. Ikut duduk di sebelah saya, curhat lagi pada saya. Tuhan, kuatkan telinga saya. Saya tahu diri belum punya pengalaman sebagai pasangan, dan sadar betul, di depan saya ini seorang ibu yang sudah familiar dengan asam garam berumahtangga, bukan bagian saya untuk sok tahu. Saya hanya bisa berucap, yang kuat bu. Semoga menepuk pundaknya bisa membuat bebannya sedikit ringan. 

Finally, surat pernyataan tadi diganti dengan pernyataan bahwa keduanya benar-benar sudah berpisah sejak november 2013, lengkap dengan materai, saksi dan kolom diketahui pak lurah. Keduanya pun pergi. Lama saya terdiam di depan komputer. Pak lurah yang kebetulan lewat berceloteh, "Ternyata kejadian seperti pagi ini benar-benar ada. Lelaki yang tidak berperasaan itu memang ada. Hati-hati mencari pasangan bu". 

Tidak beberapa lama, ibu-ibu di kantor mulai heboh perihal tadi. Semuanya sama tidak percayanya dengan ekpresi tidak berdosa sang suami tadi. Salah seorang staf di kantor bahkan berkata, kalau sebenarnya si istrilah yang jadi tulang punggung keluarga selama ini.

Lalu...
kalau seperti ini, baiknya bagaimana yah bu? Ah, pertanyaan itu menyelamatkan saya dari sejumlah pertanyaan random yang mulai membentuk peta sendiri di kepala saya. 

Dear my self..
Yah, beberapa orang dikaruniai kisah hidup yang berbeda-beda. Jadi belajarlah untuk menghargai hidupmu. Berhenti merasa engkau sudah melakukan yang lebih baik dari orang lain. Stay strong, evenwhen it feels like everything is falling apart. You never know how strong you are, until being strong is the only choise you have.

Saya hanya berharap satu hal, semoga pasangan hidup saya kelak adalah seorang kawan berbagi yang baik. Amin... 

Monday 4 November 2013

Buku dan Kebohongan- kebohongan di dalamnya.

Anda termasuk pecinta buku? 
Akrab dengan buku? 
Ah, pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya tidak penting. 
Tapi pernah tidak, terlintas di pikiran anda bahwa sebenarnya buku-buku hanyalah kobohongan belaka? Penulis di setiap belahan dunia bercokol dengan ide-idenya demi merekonstruksi cerita yang lucunya sangat ditunggu-tunggu oleh pembacanya. 

Saya memikirkan hal absurd ini ketika membaca buku "Murjangkung : Cinta yang dungu dan hantu-hantu". Kumpulan cerpen A.S Laksana, seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra juga wartawan Indonesia yang aktif menulis di berbagai media cetak Indonesia. 

Murjangkung : cinta yang dungu dan hantu-hantu
Minggu kemarin saya tidak punya sedikitpun plan to do. Jadilah memilih buku sebagai obat membunuh waktu. Sebelum saya mati bosan. 

Rupanya Murjangkung ini kumpulan cerpen, dikisahkan dalam 20 cerita berbeda. Ini kali pertama saya membaca buku om A.S Laksana, sebelum-sebelumnya saya hanya akrab dengan tweet-tweet beliau. Dan yah, tentu saja, tweet sangat berbeda dengan cerpen. Bab 1 terkesan sangat lamban. Aroma dongengnya sangat kental. Bagi saya yang untuk beberapa waktu tidak mengakrab-i cerpen, tetiba memaksa diri kembali menikmatinya, ini semacam cultur shock. Terlebih beberapa waktu belakangan saya jarang membaca. 

Lalu bab 2, ini alasan yang membuat saya bertahan membacanya. Tastenya sangat berbeda dengan yang pertama, lebih cepat, ide-idenya lebih briliant dan yah, saya bertahan membacanya. Lalu biasa-biasa lagi dan terakhir di sepertiga - mungkin seperempat dari buku sebelum tamat, untuk beberapa bab itu, saya sangat menikmatinya. Seolah-olah digiring dalam cerita absurd tanpa mengesampingkan logika, sebut saja komedi satirnya berhasil menghipnotis saya, plus cara bertuturnya yang khas. Untuk penilaian saya, 2 bintang dari 5 untuk buku ini. Bukan karena kurang bagus, bintang itu ukuran kesukaan saya pada genre bacaan. #eh.

Membaca dongeng, mau tidak mau menggiring saya pada pandangan semacam itu. Bahwa buku sebenarnya adalah berlembar-lembar kebohongan yang ditunggu-tunggu pembacanya. Lucu, bahwa kita tahu ini hanya karangan tapi masih saja menunggu dengan harap-harap cemas saat tahu penulis andalan kita akan segera meluncurkan buku barunya lagi, lalu dengan sabar kita mengantri di toko-toko buku bila ternyata banyak yang menunggu hal yang sama, atau mungkin, mengunjungi perpustakaan dengan beratus - ratus rak yang bertingkat-tingkat entah berapa banyak demi mencari buku idaman.

Ah, ya. Saya baru ingat, sepertinya pikiran semacam ini pernah saya baca di salah satu buku bertahun-tahun lalu. Kalau ingatan saya benar, itu bukunya Jostein Gaarder, "Perpustakaan Bibbi Bokken". Buku dengan tokoh sentral anak-anak yang berpetualang untuk memecahkan misteri wanita misterius, si Bibbi Bokken. Saya lupa bagaimana pastinya pendapat dalam buku itu, ingatan random saya hanya mengatakan sepertinya ada. #Abaikan.

Bayangkan, jika buku benar hanyalah kumpulan kebohongan-kebohongan yang cintai pembacanya. Kebohongan yang ditahu dengan pasti, tapi masih dicari. Coba hitung : Berapa banyak kebohongan yang telah dibaca setiap hari, berapa banyak yang diterbitkan setiap hari, berapa banyak duit yang dibuang demi membeli kebohongan-kebohongan, lalu berapa banyak kebohongan yang disimpan dan dimuseumkan dengan sangat baik oleh para kolektor buku, perpustakawan, atau mungkin kamu. Saya sendiri punya satu lemari besar untuk menampung kebohongan-kebohongan itu, yang semakin hari semakin sesak. Setiap kali ke toko buku, selalu pulang dengan tentengan sejumlah buku-buku baru, lagi-lagi kebohongan yang menambah sesak lemari buku saya. Dengan sangat sadar saya membeli satu demi satu kebohongan dan menyimpannya, meminjamkannya dan makin banyaklah jumlah orang-orang yang ikut dibohongi di dunia ini. 

Seharusnya, kita mulai memperbaiki ucapan selamat datang di toko-toko buku dengan selamat membeli kebohongan dan perpustakaan dengan selamat datang di rumah kebohongan. Lalu ditambah dengan sejumlah narasi, kebohongan-kebohongan ini bisa membawa anda kemana saja, hati-hati, bisa jadi anda akan menjadi pembohong yang cerdas setelah membacanya.

Maafkan kekacauan pikiran saya. :)  Wajar saja, saya memerlukan blog sebagai rumah kedua. Ternyata bukan karena "hidup harus meninggalkan jejak" tapi demi menyelamatkan kewarasan saya.

Buku tetaplah buku. Tidak peduli setelah membacanya engkau menjadi lebih baik atau sebaliknya. Sudah jadi tugas masing-masing pribadi untuk membentengi dirinya sendiri. Bukan menyalahkan buku. Berhenti untuk terlalu percaya diri membaca setiap genre buku. Hati-hati ada beberapa yang sudah di desain mengubah pola pikir bahkan keyakinan anda. Be ware. Lah, jadi horror begini.

Random:
Hiatus itu.. sempurna membuat kewarasan hilang satu-satu. Menulis adalah kebutuhan rupanya.
Saya kembali. :)