Friday 29 May 2015

Home isn't about place, its about feeling..

Beberapa waktu lalu, saya ada jalan dengan kawan-kawan. Niatan arisan, tapi ujung-ujungnya melipir kemana-mana. Ngukur jalan sepanjang Enrekang - Pinrang - Parepare - Sidrap - Pinrang - Enrekang. Yang tak pernah absen saat kumpul, pastilah cerita setiap kawan yang ngalor-ngidul kemana-mana.

Adalah si Fulan yang tetiba curhat, katanya dia senang kalau lagi main dengan kawan macam ini, nyaman bercanda dan bicara sesukanya. Terlebih lagi kawan-kawan yang "ini", telinganya sudah tahan banting kalau diolok-olok, pun tak masalah diajak gila. Singkatnya sudah sama-sama taulah pribadi masing-masing. Si Fulan senang karena ia menemukan apa yang katanya tidak didapatnya di rumah. Selidik punya selidik, ternyata si Fulan sedang tidak akur dengan ibunya. Praktis di rumah dia jarang bicara. Ulalaaa..

Ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus dalam keluarga, khususnya hubungan anak dan orang tua. Sedikit sok tahu, bukannya setiap orang tua juga pada dasarnya adalah seorang anak juga? Kalau saya pribadi ditanya tanggung jawab siapa hubungan yang kurang harmonis antara orang tua dan anak, maka saya akan jawab, tanggung jawab orang tua. Bukan mentang-mentang saya belum jadi orang tua jadi menyalahkan orang tua loh ya. ^^

Kenapa orang tua?
Imho, sederhananya begini. Saat seorang anak lahir, dia benar-benar kanvas yang putih bersih. Siapa yang akan mewarnainya tentu saja orang-orang terdekatnya (orang tua). Yang diwariskan ayah dan ibu kepada anak, hanyalah kemiripan-kemiripan lahiriah, jasad. Roh yang ditiupkan adalah esensi lain yang tidak ada sangkut-paut apapun dengan esensi jasad. Roh ini tidak bisa memilih dia akan ditiupkan ke jasad yang mana, seorang anak tidak pernah bisa memilih siapa orang tuanya. Lalu si anak bertumbuh dan mulai faham tentang dunia, mulai mengerti keinginan-keinginan, tahu membedakan yang baik dan buruk. Bukankah proses ini memberikan peluang bagi seorang anak untuk menata denah-denah abstrak di kepalanya : oh, orang tua yang baik itu seperti ini, saya ingin ibu-bapak yang telinganya selalu ada untuk saya, misalnya. Yang demokratis, bisa jadi kawan, dsb, dll, dkk.

"Keinginan-keinginan" ini adalah investasi besar, footnote bagi si anak saat dia menjadi "orang tua" kelak. Ibaratnya blueprint sudah tercetak di kepala, tinggal menunggu eksekusi. Di titik ini, lahir PR besar, perempuan sebagai "madrasah al - ula", sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ini bukan PR yang main-main, seberapa banyak yang sudah kita persiapkan untuk posisi ini? Dan berbahagialah perempuan, kita punya kesempatan untuk menciptakan surga di telapak kaki kita.

Pertanyaan selanjutnya, pantaskah surga hadir di telapak kakimu wahai perempuan? Jangan salah, bagian ini sangat potensial membuat seorang ibu jadi superior. Ada ego yang lahir dari propaganda-propaganda bahwa ibu adalah yang "terutama" dan lupa bahwa ia punya tanggung jawab besar memberi warna pada "kanvas" yang ia lahirkan. Jangan mengkritisi anak berlebihan, bahwa ia bukan anak seperti yang diharapkan. Toh belum tentu juga dirinya adalah ibu yang diharapkan si anak. Jangan menuntut hal-hal baik saat kita tidak pernah mengenalkan dan mengajarkan hal-hal baik. Perihal pantas-tidak pantas adalah urusan sang Maha. Lagi-lagi dunia persoalan relativitas bukan? Semua tentangnya berakhir pada klausa, "kelak, semua akan diminta pertanggung-jawabannya".

Nah loh, sekarang saya bingung dimana koherensi judul dengan isi postingan ini. Lol.
Mungkin saya ingin bilang, tidak ada yang benar-benar pasti bahwa kita adalah seperti yang orang lain inginkan, termasuk dalam hubungan orang tua dan anak. Yang terbaik dari semua adalah rumah, tempat kembali saat semua terasa berat. Bukan rumah sebagai objek tapi perasaan damai yang melegakan. Saya tertarik dengan tulisan dedi corbuzier di blog nya tempo hari. Bapak yang satu ini juga sedang mengusahakan "rumah" yang nyaman bagi putranya. Mencoba yang terbaik seperti apa yang telah dicontohkan ayahnya sebelumnya. Sederhana tapi kaya hikmah.

image source
Tetiba saya ingat acara kemarin, pas didaulat jadi mc dadakan di acara penamatan salah satu TK. Ada sesi ketika beberapa anak berkebutuhan khusus seperti autis, hiperaktif, tuna wicara dan down syndrom mengisi acara hiburan. Beberapa terdiam, beberapa bisik-bisik, beberapa haru, beberapa tersenyum cerah. Satu hal yang saya tahu pasti, betapa luar biasanya orang tua anak-anak ini menyiapkan "rumah" untuk buah hati tercinta. Bukan perkara remeh memasang wajah baik-baik saja di tengah-tengah kerumunan dan sorotan mata yang mem-vonis. Semoga kekuatan dan keselamatan selalu tercurah untuk kalian..

So fellas, sudahkah kita mengusahakan yang terbaik untuk orang-orang terdekat kita hari ini?

Ehmmmm..., saya jadi penasaran, seberapa jauh saya bisa menjadi sosok orang tua seperti yang di kepala saya saat ini?

Uhhuk!. Soon laah yaaah.. nikah aja belum. Lol