Wednesday 30 December 2015

Toraja Utara, on vocation.

Salah satu kesyukuran saya melanjutkan pendidikan di jatinangor adalah fakta memiliki teman senusantara, di hampir semua kabupaten/kota se-Indonesia (kecuali Yogyakarta). Kenapa? Sebab begitu menginjakkan kaki di kab/kota yang lain, jadi tetamu, selalu ada kawan yang bersedia menyambut dan menjadi guide dadakan. Seperti kali ini, ada Arena Rante Maliku yang siap direpoti demi kami berdua (putri 17 sulsel) yang nyasar ke tempatnya, Toraja Utara.

Sudah jadi rahasia umum, Toraja dan Toraja utara didiami oleh mayoritas non-muslim. Subhanallahnya, disini mereka hidup berdampingan dengan baik. Sekalipun beda keyakinan, tapi adat menjadi penyatu yang baik. Kalau biasanya sebelum main ke Torut, bekal makanan adalah hal wajib yang harus disiapkan sebelum berangkat, maka kali ini, berkat Aren - Lurah Tagari Tallung Lipu yang juga muslim, kami jadi leluasa menemukan tempat shalat dan tempat makan halal yang tergolong minim di Toraja Utara. Alhamdulillah yaaa.. Kelar shalat dan makan, destinasi pertama kami adalah Ke'te Kesu, salah satu objek wisata andalan yang menjadi ikon Toraja utara.

Ke'te Kesu menyuguhkan deretan rumah adat yang dikenal dengan sebutan "Tongkonan". Terdapat 6 tongkon dan 12 lumbung padi yang dibangun berhadap-hadapan. Sebagai cagar budaya, Ke'te Kesu selalu menjadi pusat upacara kematian/ pemakaman adat yang dikenal dengan sebutan "Rambu Solo". Saya pribadi belum pernah menyaksikan langsung prosesi ini. Yang pasti selalu butuh biaya besar untuk bisa melaksanakan event besar ini.

Sayangnya, saat mampir ternyata tongkonan sedang di renov.
(With uci n krucil)
Saya sempat roaming dengan sesama pengunjung yang kebetulan penduduk asli Toraja Utara, kebetulan lagi bahasa Enrekang di tempat saya hampir sama dengan bahasa Toraja. Dari si bapak, saya diberitahu kalau usia Tongkon itu berkisar 400 tahun. Sekalipun sudah tidak ditinggali, tapi deretan tongkonan tetap terawat dengan baik. Oh iya, di Toraja terdapat semacam klan atau rumpun keluarga. Khusus cagar budaya Ke'te kesu ini, dirawat secara turun-temurun oleh keturunan Puang Ri Kesu.

Tanduk kerbau menjadi penghias tongkon
Di bagian depan Tongkon, biasanya ditemukan deretan tanduk kerbau yang disusun rapi bertumpuk ke atas. Tanduk tersebut berasal dari sekian banyak kerbau yang dipotong saat Rambu Solo' atau prosesi kematian. Jumlah tanduk ini pula yang biasanya menjadi tolak ukur seberapa kaya si empunya hajatan. Kata si Pak lurah, adat disini mengharuskan potong kerbau, bukan sapi. Padahal kalau bicara lebih enak mana daging sapi atau kerbau, jawabannya sudah tentu sapi. Belum lagi harga kerbau jauh lebih mahal dari sapi. Inilah ysng menjadi alasan kenapa banyak mayat yang tidak langsung diupacarakan tetapi disimpan sekian waktu, hingga dana terkumpul.


Masuk lebih ke dalam, di kiri kanan jalan akan dijumpai toko-toko souvenir khas toraja. Kebanyakan hiasan dari ukiran dan pahatan khas toraja, tas/baju/kain khas toraja, dll. Lebih ke dalam lagi, terdapat peti-peti mayat yang oleh masyarakat Toraja disebut erong, ada yang berisi mayat utuh pun tulang belulang. Selain itu, biasanya rumah mayat ataupun di erong gantung dipajang boneka si mayat yang disebut "tau-tau". Beberapa tau-tau yang bernilai tinggi bahkan dikunci dalam jeruji besi untuk menghindari pencurian.

Konon katanya, lingkaran coklat di belakang saya itu berisi ratusan tulang belulang.
With my beloved partner in crime and her son yang lucunya diberi nama oleh saya. ^^
Di belakang kami ini sebenarnya salah satu erong tua yang berisi belulang.
Hanya saja model terlalu gifo untuk melewatkan setiap sudut.
Berhubung habis hujan dan kondisi tangga menuju tebing mayat gantung sangat licin, bagian atas tidak sempat dieksplor lebih jauh. Dari Ke'te Kesu, kami beranjak ke Londa. Biasanya di bagian depan sebelum masuk gerbang kecil, pengunjung akan disambut oleh seekor kerbau yang hanya ada di toraja yang dikenal dengan sebutan "tedong bonga". Tapi kali ini tidak ada.

With Lurah Tagari Tallung Lipu (paling kanan) and uchi's kru.
Londa.
Peti mayat atau erong biasanya diselip di lubang-lubang pada tebing, digantung atau dimasukkan ke gua-gua.
Objek wisata di Toraja memang tidak jauh-jauh dari kuburan atau peti mayat, dengan prosesi adat pemakaman mayat sebagai faktor penarik wisatawan terbesar.. Di londa, pengunjung akan diajak menyusuri lorong-lorong gua, bertemu dengan (lagi-lagi) peti mayat dan mitos dibelakangnya. Cukup menyewa pembawa lentera, pengunjung akan puas berpelesir.
Beberapa peti atau erong dalam gua.
Salah satu spot yang kata guidenya selalu jadi tempat andalan berfoto.
Oye, uchi n' kru tidak masuk. Ane doang sama yang empunya kampung. #eh
Last shoot before good bye.
Bertemu kawan lama selalu sukses membumikan kenangan-kenangan. Siapa sangka, saya diberi kesempatan bertemu kawan ngampus di nangor yang belum pernah bersua sejak kelulusan 6 tahun lalu, uchi. Padahal satu kontingen, cuma beda kabupaten, terpisah utara dan selatan. Maulid yang gandengan dengan natal, ditambah weekend defenitif di hari sabtu dan minggu sepertinya jadi kesempatan besar planning kemana-mana. Pada awalnya saya ada planning cuus ke makassar, sekedar buang suntuk sekalian jenguk gramed. Setahunan buku-buku di rak belum nambah kawan. Tapi kabar hujan dan macet di kota metro, sepertinya cukup sukses memekarkan malas kemana-mana. Fix, batal.

Batal pergi ternyata berkah, bisa meet up dengan dorang dua sa pu kawan lama, kawan senasib sepenanggungan. Dan lalu... cerita-cerita jaman kampu, sedu-sedannya pendidikan, kisah-kisah deviasi, kisah-kisah keluar kontingen, semuanya mengalir kembali. Waktu yang tepat menertawai kebodohan-kebodohan jaman dulu. Miss you all..

Note:
Maaf foto-foto yang di upload kurang mewakili/ mengeksplor Ke'te Kesu dan Londa, maklum saya prefer catch the moment dengan kawan ketimbang memperkenalkan kedua tempat itu. #eh. Dan thanks a lot buat Lurah Tagari Tallung Lipu atas jamuan dan servisnya. Sukses terus.


Tuesday 22 December 2015

Akhir tahun, momen review dan resolusi.

@asrianiamir17
Optimism is a happiness magnet. If you stay positive, good things and good people will be drawn to you..
-Mary Lou Retton-

Dekat-dekat akhir tahun, biasanya selalu identik dengan momen review dan resolusi. Sosmed sekaliber facebook bahkan tak ketinggalan. Beberapa hari ini setiap kali buka app -nya selalu saja review tahunan bertengger paling puncak. Tidak ada salahnya, anggap saja ini salah satu momen yang tepat untuk merekap pencapaian-pencapaian dan hal-hal yang tertunda. Mengenai yang satu ini saya pro, perihal mengistimewakan atau merayakan penyambutan tahun baru, saya out of the box. 

Kenapa perlu merekap? 
Sejatinya hidup manusia selalu dipenuhi keinginan-keinginan yang tak terbatas. Detik ini meresolusi keinginan memiliki atau mencapai A, besok lusa keinginan memiliki atau mencapai B, demikian seterusnya. Kalau hidup ibarat puzzle, maka keinginan-keinginan adalah kepingan puzzle yang menunggu dilengkapi. Dengan merekap artinya kita membuat kesempatan untuk meninjau pencapaian diri, hasilnya positif apa tidak? Kesalahannya dimana? Potensi mana yang terabaikan, disalahgunakan atau kurang diberdayakan? Anggap saja semacam monitoring dan evaluasi kegiatan pribadi dalam kurun waktu setahun belakangan.

Saya? 
Untuk tahun ini, dari semuanya, satu hal yang paling saya sesalkan adalah terjebak antara stabil dan stagnan. Sangat melenakan. Pekerjaan, keinginan dan kebutuhan seolah berjalan mulus di relnya masing-masing. Tetiba di penghujung waktu, tanpa sadar semuanya sudah jadi masa lalu begitu saja. Merasa ada yang hilang, ada yang kurang. 

Benar kata orang, adalah merugi bagi orang-orang yang tidak belajar dari kesalahan sendiri. Lebih rugi lagi, orang-orang yang tidak mau belajar dari kesalahan orang lain. Karena apa? Tidak ada jaminan umur ini cukup untuk melakukan kesalahan-kesalahan itu sendiri, lalu kemudian belajar. Jadi sekalipun orang-orang bertumbuh dan dewasa dengan caranya masing-masing, tak ada salahnya belajar kebijaksanaan dari pencapaian dan hal-hal yang tertunda. Stay positive!!

Wednesday 16 December 2015

What's on your mind?

Kalau dipikir-pikir, sepertinya salah satu penyakit dari blogger musiman yang ingin bangkit dari mati suri adalah jatuh bangun mengubek-ubek isi kepala yang entah karena terlalu kusut atau memang sedang kosong sehingga sulit menemukan mana ujung mana pangkal. Bermimpi berjalan di koridor yang tepat tapi pintu depan saja belum ketemu. Entah bagi orang lain, tapi untuk kepala yang ini sepertinya selalu begitu. Lagi-lagi tertawan rutinitas, lagi-lagi dilenakan keseharian. Tak salah kata orang kebanyakan, stabil dan stagnan itu cuma beda tipis. Terlalu tipis untuk bisa membedakan kalau ternyata sekarang sedang stagnan. 





Lucunya, setiap bertemu dengan keinginan bisa khusuk nge-blog, selalu saja seolah-olah ada yang menghipnotis saya untuk mengais-ngais memori, mencari adakah yang bisa dibagi untuk menjadi sebuah tulisan di rumah yang ini. Sering kali lupa bahwa memandang sekitar sebenarnya memberi kans yang lebih besar untuk menemukan hal-hal yang lebih menarik untuk ditulis. Kalau sudah begini, kadang kesimpulan paling "mbuh" akan berujung pada : "Mungkin ini yang disebut suka hidup dalam pikiran sendiri". Parahnya, ini tumbuh subur dan mekar menjadi semacam obsesif compulsif. Kepala ini selalu mengomandoi untuk mencari apa yang saya punya, apa yang sudah ada, mencari ke dalam dulu, opsi melihat keluar baru belakangan. 

Kali ini pun begitu. Lagi-lagi random yang pegang kendali. Kepala yang ini tak serapi manivest versi "inside out" bahwa manusia adalah ruang kontrol yang dikomandoi oleh avatar joy, sadness, fear, disgust dan anger yang setiap saat bertukar posisi agar tetap kondusif. Lalu ada bentukan lain yang selalu memegang peranan penting, kenangan. Kalau kata Joy, bagian terpenting dari semua kenangan adalah "pure memory" yang bisa mejadi tameng kuat yang baik untuk manusia. Menjadi vaksin agar "si manusia" tetap jadi pribadi baik. Tapi bukankah apa yang menjadi kekuatan biasanya juga menjadi kelemahan di saat yang bersamaan. Contoh paling riil keluarga, selalu jadi kekuatan dan kelemahan di saat yang bersamaan. Jadi saya kurang percaya kalau pure memory bisa selalu berakhir dengan konotasi positif. 

Dalam ranah ilmiah, bisa jadi avatar joy, sadness, fear, disgust dan anger adalah unconscious mind, alam bawah sadar yang selalu bergerak meski tidak sinergi dengan alam sadar. Meski begitu dia selalu saja punya cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan alam sadar. Menulis, salah satunya. Sesibuk-sibuknya jejari mengetuk tuts untuk postingan ini pun harusnya adalah salah satu cara bagi keduanya untuk berkomunikasi. Kalau biasanya malam katanya ruang bagi sufistik untuk menampakkan diri, di detik saya ingin khusuk nge-blog, kepala yang ini, bukannya sufistik, malah sedang random-randomnya merekap keinginan-keinginan fana yang tak kunjung kelar..

  • tentang keinginan punya peta konstelasi bintang ukuran jumbo, dengan 88 rasi lengkap, biar bisa dibingkai rapi, pajang di kamar.
  • tentang buku ensiklopedia astronomi yang isinya lengkap, termasuk kisah mitologi di belakang setiap rasi.
  • Kepingin ngerasain sensasi main budgee jumping
  • Punya puzzle 1000 pieces dari foto sendiri dengan tema retro ato hitam putih.
  • Punya kebun kaktus dan secculent tepat di luar jendela kamar
Hmm... sepertinya saya memahami satu hal. Menulis seperti ini tanpa sadar telah mengurai selembar benang kusut dari unconscious mind seorang blogger musiman yang ingin bangkit dari mati suri. Walaupun ujung benang kusut itu hanyalah sejumlah keinginan abstrak yang tak kunjung kelar. Lol
Have a good night, dear you!!

Sunday 13 September 2015

Antara aku, kamu dan buku

What on earth could be more luxurious than 
a sofa, a book and a cup of coffee?


Tempo hari pasang dp cak itu di BBM. Dan tak butuh waktu lama, beberapa kawan yang saya tahu juga menggandrungi buku ikut menimpali. Beberapa menjawab indeed, idem, sepokat atau nyetor jempol. Ada juga yang menimpali dengan chat, "Emang dasar kutu buku luw, nek", atau "Betah juga kebiasaanmu, sizt..", "Kopi oke, yang lain... big no..", "ih, dak sembuh-sembuh ni anak..". Ekspresi yang sama juga datang dari kawan, pas mampir nemenin saya yang lagi ditinggal jaga rumah. Begitu melihat rak buku yang sudah sesak tanpa spasi, langsung berkata, "Ini bukumu semua? Ckckck... nda berubah kamu". One thing, seberdosa itukah mencintai buku? Hahahaaa..

Sebenarnya saya tidak se-maniak di kepala orang-orang. Bagi saya, buku seperti camilan kesayangan yang langka. Sesekali dilahap, dinikmati, bukan untuk dihabiskan sekaligus. Sampai sekarang bahkan ada belasan buku yang baru dibaca sekian halaman tapi tak kunjung dikhatamkan. Januari kemarin ikutan reading challange-nya goodreads, yang katanya mau khatam 30 buku setaun ini. Sampai detik ini alhamdulillah.. baru satu yang kelar. Lol. Alasan klise, tertawan rutinitas. Sok sibuk. Perihal buku, yang penting punya dulu kan yaa.., melahap isinya disesuaikan dengan kesempatan. Thats the rule. 

Ada lagi yang menawarkan/ menyarankan membuat buku. Dulu iya, saya bermimpi rak buku saya juga diisi oleh buku-buku dengan nama penulis saya sendiri. Anehnya, makin kesini saya makin realistis dan sedikit perfeksionis. Kalau mau menulis buku, genrenya apa? Buat kumpulan puisi apa nulis novel? Emang bisa? Apa iya, ada yang mau baca? Kepala saya sepertinya mulai tumpul, ngurus blog saja tidak becus, bagaimana dengan yang setingkat lebih tinggi? 

Terlalu sering membuat review buku, tanpa sengaja membuat kepala ini ikut memetakan pola-pola ekspektasi pribadi tentang buku yang baik dan berbobot. Percuma saja kalau hanya menjual cerita tanpa hikmah. Kalau cuma menjual drama, di tipi juga banyak. Menarik itu ketika melahap sebuah buku dan engkau merasa lebih cerdas setelahnya. Keinginan punya buku sendiri masih mekar disini, tapi untuk benar-benar mulai mengerjakannya sepertinya butuh waktu men-desain, spesies buku seperti apa yang saya inginkan, butuh riset biar lebih berbobot. (Duhh..bahasanya.. gayee..).

Oh ya, ada jawaban yang menarik dari kawan tentang pertanyaan di awal tadi. Katanya.. "A garden, 2 books and 2 cups of coffee..". Hwaaaahh.. itu jawaban yang benar-benar romantis diterjemahkan kepala saya. Lol.. Antara aku, kamu dan buku. Sepertinya judul postingan kali ini pun gagal koherens dengan isi postingan. Bisa jadi judul kali ini manifestasi inconsious mind yang tiba-tiba menemukan jalan keluar dan lalu lahir prematur. Duuh.. kepala seberkabut jenis ini yang mau nulis buku, lupakan!! Hahaha.. Have a nice day, fellas..

Monday 29 June 2015

Anonim maya vs sosial web.

Happy fasting, universe.. Tidak terasa bulan puasa dah lewat sepertiga ajah. Jam segini di kantor tanpa kerjaan biasanya random mampir. Sudah cukup bagus random kali ini ingatnya belum mampir di blog sekian hari. Biasanya waktu bengong begini, jejari cekatan ngecek timeline aplikasi sosmed dari path, twitter, instagram, facebook (oye, fb saya on lagi ^^) dll lancar jaya, khatam semua. Atau kalau tidak, buka buka google dan ketik nama sendiri di tab pencarian google. :)) Pernah melakukannya? Atau bahkan sudah kebiasaan? Kebetulan, saya termasuk yang kedua -kebiasaan-. #lol Seru saja, hanya butuh hitungan sepersekian detik dan monitor sudah merangkum semua rekaman maya atas namamu, bahkan dosa-dosa maya kamu mungkin. 

Siapa sih yang tidak terhubung dengan internet, sekarang ini? Kalau sudah surfing, biasanya sampai tersesat di link-link lain, seperti beberapa waktu lalu, saya sempat wara-wiri di salah satu grup facebook, menemukan dan tertarik dengan salah satu postingan seperti ini:


Salah seorang member grup penasaran dengan hal ini?
"Bisakah menganalisa seseorang dari sosial websitenya?"
Saya sedikit banyak tertarik dengan pendapat Evelyn Szabo bahwa kita bisa menganalisa seseorang dari caranya menulis, termasuk pilihan kata yang digunakan, bagaimana ia menyampaikan tentang sesuatu, seberapa cepat ia terbuka pada seseorang, hal-hal apa yang mereka ingin tahu, penggunaan emoticon, tata bahasanya dll. Kita kadang tidak menyadari bahwa setiap orang punya kebiasaan - kebiasaan tertentu yang unik saat menggunakan sosial media. 

Bagaimana dengan anonim maya? 
Maksud saya, orang baru dari jejaring sosial yang tetiba muncul di kontak ponsel yang kemudian kamu nyaman berkawan, berbagi informasi atau bahkan curhat picisan mungkin. Kadang untuk alasan tertentu orang-orang merasa nyaman saat berbagi kisah dengan orang yang physically tidak berada di sekitarnya sehari-hari. Bisa jadi ini alasan kenapa forum-forum konsultasi atau komunitas via online menjamur. 

Saya sendiri, menyimpan beberapa kontak kawan anonim maya di ponsel, yang sampai saat ini masih bertukar kabar dengan baik. Biasanya mereka ini adalah kawan blog, mereka yang websitenya saya follow, bukan pure dari fb or twitter, kecuali si empunya website juga main jejaring sosial lain. Sejalan dengan pendapat Evelyn, sepertinya website memberikan peluang lebih banyak untuk mengenal seseorang dengan baik. Kenapa?  Bagi saya, menulis serupa monolog, tempatnya mengkomunikasikan sampah-sampah kepala yang kadang sulit mendapat ruang untuk didengarkan dalam keseharian. Dan biasanya monolog itu sisi terjujur dari seseorang.

Melalui tulisan juga, secara tidak langsung pembaca bisa lebih dekat dengan pikiran si penulis. Jadi tahu dan mengerti bagaimana pola pikir si penulis. Bisa jadi perasaan lebih mengenal seseorang, saat tahu cara berpikirnya ini yang melahirkan kompromi dan mengamini lebih aman mengenal dan berkawan dengan anonim dari sosial website ketimbang anonim dari fb, twitter dan sejenisnya. Seberapa akurat? Untuk yang ini, saya tidak berani memberikan besarnya persentasenya. Yang pasti, membuat jaringan pertemanan yang positif seluas - luasnya adalah baik. Thats all, home calling. #eh





Friday 29 May 2015

Home isn't about place, its about feeling..

Beberapa waktu lalu, saya ada jalan dengan kawan-kawan. Niatan arisan, tapi ujung-ujungnya melipir kemana-mana. Ngukur jalan sepanjang Enrekang - Pinrang - Parepare - Sidrap - Pinrang - Enrekang. Yang tak pernah absen saat kumpul, pastilah cerita setiap kawan yang ngalor-ngidul kemana-mana.

Adalah si Fulan yang tetiba curhat, katanya dia senang kalau lagi main dengan kawan macam ini, nyaman bercanda dan bicara sesukanya. Terlebih lagi kawan-kawan yang "ini", telinganya sudah tahan banting kalau diolok-olok, pun tak masalah diajak gila. Singkatnya sudah sama-sama taulah pribadi masing-masing. Si Fulan senang karena ia menemukan apa yang katanya tidak didapatnya di rumah. Selidik punya selidik, ternyata si Fulan sedang tidak akur dengan ibunya. Praktis di rumah dia jarang bicara. Ulalaaa..

Ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus dalam keluarga, khususnya hubungan anak dan orang tua. Sedikit sok tahu, bukannya setiap orang tua juga pada dasarnya adalah seorang anak juga? Kalau saya pribadi ditanya tanggung jawab siapa hubungan yang kurang harmonis antara orang tua dan anak, maka saya akan jawab, tanggung jawab orang tua. Bukan mentang-mentang saya belum jadi orang tua jadi menyalahkan orang tua loh ya. ^^

Kenapa orang tua?
Imho, sederhananya begini. Saat seorang anak lahir, dia benar-benar kanvas yang putih bersih. Siapa yang akan mewarnainya tentu saja orang-orang terdekatnya (orang tua). Yang diwariskan ayah dan ibu kepada anak, hanyalah kemiripan-kemiripan lahiriah, jasad. Roh yang ditiupkan adalah esensi lain yang tidak ada sangkut-paut apapun dengan esensi jasad. Roh ini tidak bisa memilih dia akan ditiupkan ke jasad yang mana, seorang anak tidak pernah bisa memilih siapa orang tuanya. Lalu si anak bertumbuh dan mulai faham tentang dunia, mulai mengerti keinginan-keinginan, tahu membedakan yang baik dan buruk. Bukankah proses ini memberikan peluang bagi seorang anak untuk menata denah-denah abstrak di kepalanya : oh, orang tua yang baik itu seperti ini, saya ingin ibu-bapak yang telinganya selalu ada untuk saya, misalnya. Yang demokratis, bisa jadi kawan, dsb, dll, dkk.

"Keinginan-keinginan" ini adalah investasi besar, footnote bagi si anak saat dia menjadi "orang tua" kelak. Ibaratnya blueprint sudah tercetak di kepala, tinggal menunggu eksekusi. Di titik ini, lahir PR besar, perempuan sebagai "madrasah al - ula", sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ini bukan PR yang main-main, seberapa banyak yang sudah kita persiapkan untuk posisi ini? Dan berbahagialah perempuan, kita punya kesempatan untuk menciptakan surga di telapak kaki kita.

Pertanyaan selanjutnya, pantaskah surga hadir di telapak kakimu wahai perempuan? Jangan salah, bagian ini sangat potensial membuat seorang ibu jadi superior. Ada ego yang lahir dari propaganda-propaganda bahwa ibu adalah yang "terutama" dan lupa bahwa ia punya tanggung jawab besar memberi warna pada "kanvas" yang ia lahirkan. Jangan mengkritisi anak berlebihan, bahwa ia bukan anak seperti yang diharapkan. Toh belum tentu juga dirinya adalah ibu yang diharapkan si anak. Jangan menuntut hal-hal baik saat kita tidak pernah mengenalkan dan mengajarkan hal-hal baik. Perihal pantas-tidak pantas adalah urusan sang Maha. Lagi-lagi dunia persoalan relativitas bukan? Semua tentangnya berakhir pada klausa, "kelak, semua akan diminta pertanggung-jawabannya".

Nah loh, sekarang saya bingung dimana koherensi judul dengan isi postingan ini. Lol.
Mungkin saya ingin bilang, tidak ada yang benar-benar pasti bahwa kita adalah seperti yang orang lain inginkan, termasuk dalam hubungan orang tua dan anak. Yang terbaik dari semua adalah rumah, tempat kembali saat semua terasa berat. Bukan rumah sebagai objek tapi perasaan damai yang melegakan. Saya tertarik dengan tulisan dedi corbuzier di blog nya tempo hari. Bapak yang satu ini juga sedang mengusahakan "rumah" yang nyaman bagi putranya. Mencoba yang terbaik seperti apa yang telah dicontohkan ayahnya sebelumnya. Sederhana tapi kaya hikmah.

image source
Tetiba saya ingat acara kemarin, pas didaulat jadi mc dadakan di acara penamatan salah satu TK. Ada sesi ketika beberapa anak berkebutuhan khusus seperti autis, hiperaktif, tuna wicara dan down syndrom mengisi acara hiburan. Beberapa terdiam, beberapa bisik-bisik, beberapa haru, beberapa tersenyum cerah. Satu hal yang saya tahu pasti, betapa luar biasanya orang tua anak-anak ini menyiapkan "rumah" untuk buah hati tercinta. Bukan perkara remeh memasang wajah baik-baik saja di tengah-tengah kerumunan dan sorotan mata yang mem-vonis. Semoga kekuatan dan keselamatan selalu tercurah untuk kalian..

So fellas, sudahkah kita mengusahakan yang terbaik untuk orang-orang terdekat kita hari ini?

Ehmmmm..., saya jadi penasaran, seberapa jauh saya bisa menjadi sosok orang tua seperti yang di kepala saya saat ini?

Uhhuk!. Soon laah yaaah.. nikah aja belum. Lol

Friday 13 March 2015

Will spring come back here?

Assalamu alaikum.. 2015
Berasa lama beud saya hiatus. Apa kabar kepala? Jangan tanya, >> Full, of course. Sekian banyak pencapaian, tantangan, sedih, bahagia, kecewa, bertumpuk dengan baik. Kepala bak tong sampah yang terus menerus dijejali sampah rasa. Semakin sesak tanpa dibuang. Beberapa terjatuh dan mengenang di sekitar. Siapa nyana ini bisa mengaburkan pikiran positif yang biasanya menunggu dengan baik di "rumah". #Disitu kadang saya merasa kepala tidak benar-benar baik-baik saja. :))


Will spring come back, here..??
I guess, it will. Kepala ini selalu butuh rumah untuk kembali, merindukan monolog dalam episode tak terhingga, zona nyaman merekap nyinyir yang tak kunjung almarhum. Bisa jadi besok lusa kepala ini akan setuju curhat colongan disini demi menyelamatkan kewarasan. Who knows.. ^^

Saya bertanya-tanya masih adakah kawan yang ingat blog ini? Masih adakah yang ingin tahu isi kepala saya? Masih adakah yang ingin bertukar pendapat dan membanjiri postingan dengan komentar-komentar, seperti tahun-tahun yang telah lalu? Tapi saya lalu tersadar, itu bukan hal yang penting, saya menulis blog ini bukan untuk orang lain, ini untuk saya, demi kepala saya. Thats the point. Alasan yang sama kenapa saya memulai menulis buku harian lagi :))

Arrgggghhh.. saya benar-benar rindu menyapa maya yang ini. Wish me find a way home. #Halaaah.