Monday 7 March 2016

Curhat Picisan "O"

"Terbentur..terbentur... terbentur... Terbentuk!!
~Tan Malaka~
Konon kabarnya sejak negara api menyerang, kamar mandi adalah tempat paling hits untuk bertapa. Kalau katanya, "AB" menemukan ketenangan dengan berlama-lama memandangi air mengalir, maka makhluk berspesies "O" akan melakukan sebaliknya. Secara simultan, kepalanya akan diinvasi badai serupa kabut pikiran yang berdatangan tanpa permisi. Jangan anggap berlebihan bila kamar mandi adalah panggung teaterikal yang penuh drama picisan bagi "O". Serupa tombol enter, di detik air mulai mengguyur kepala, detik itu pula proyektor film di kepala mulai aktif. Sangat disayangkan tidak ada tombol filter tentang apa yang akan diputar kembali, memanggil kenangan begitu saja, datang, hadir, ada, menjadikannya segar bak kemarin sore lalu pergi begitu saja. Orang-orang menyebutnya obsesif kompulsif. Jangan mengira ini sama dengan jatuh cinta berkali-kali pada cerita yang diberikan hidup. Satu waktu ia datang membebaskan tapi di waktu lain ia menjebak, menghimpit hingga sesak nafas. 

Kali ini, tempat paling hits untuk bertapa menyuguhkan drama picisan tentang si fulan. Lelaki paruh baya yang tempo hari meledak-ledak di kantor gegara salah mengira saya mempersulit urusannya. Terbentur administrasi, saya mencoret sedikit berkasnya, tepatnya memperbaiki  tanggal agar tidak berseberangan dengan tupoksi saya. Mencoba memberi pemahaman tapi si fulan tetap memaksa berkasnya di-acc saja, menuntut agar saya segera membubuhkan tanda tangan. Dagangannya, dirinya kenal dekat dengan "01", bantuan sudah pasti akan ia terima, dengan atau tanpa melewati prosedur. Duhai negeri para bapak-bapak yang terhormat, di tanganmu mental bangsa sedang dipertaruhkan.

Detik itu, punggung saya menegak, ada panas yang merambat perlahan dari tulang belakang menuju ubun-ubun. Dua entitas bersitegang, emosi dan kebijaksanaan bertarung untuk saling memadamkan. Satu sisi berusaha dingin, kepala mengingatkan kalau si fulan adalah anak salah satu tokoh masyarakat yang sangat saya hormati, dia hanya salah memahami. Sisi lain berontak, tidak kompromi dengan mereka yang sok superior. Untuk beberapa saat saya biarkan si fulan dengan drama telepon kiri kanannya. Lama, ia mulai melunak, mungkin di ujung sana ada orang besar yang akhirnya bisa memberi pemahaman padanya. Mungkin harga diri si fulan tercoreng, anak kemarin sore tidak langsung meluluskan urusan yang biasanya lancar bak jalan tol, padahal jimat "orang-nya 01" sangat mumpuni. 

Saban hari, ada juga si fulanah. PNS, berpendidikan, khatam asam garam profesi abdi masyarakat. Mencak-mencak gegara keluarganya tidak diluluskan dalam pengusulan baru penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS). Bagaimana tidak, secara finansial dia berkecukupan, rumah besar dan megah sudah jadi bukti yang tidak terbantahkan. Ada lebih banyak kepala-kepala keluarga lain yang lebih berhak disantuni negara dari pada beliau. Lucunya, laporan dari kawan kantor, si fulanah merapal protes kesana-kemari, tidak di depan saya, tidak terima dengan keputusan kami yang terlalu kaku, katanya. 

Saya belajar satu hal, berada di lini terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat selalu butuh sesi mengatur "emosi", tentang kebijakan dan kebijaksanaan yang selalu berdampingan. Tentang pekerjaan, saya realistis. Tidak semua orang punya pandangan yang sama atau cara berfikir yang sama. Dua orang mungkin memiliki selera yang sama pada makanan, tapi tidak untuk cara menikmatinya. Ada yang makan sambil bercerita ada juga yang makan dalam khusuk tanpa kata-kata. Saya bersyukur, diberi kesempatan mencicipi makanan yang berbeda, pedas, asam, asin, dengannya saya belajar kapan waktu yang tepat untuk minum air, kapan saatnya mengunyah perlahan dan kapan menelan dengan cepat. Semoga amanah. :)



#hanamasa
Kamar mandi membawa "O" yang ini kemana-mana..