Sunday 22 January 2017

Goyang Lidah dengan Cakalang Suwir Level 20

Weekend selalu jadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk semua, termasuk "Robo Sapiens" nyang ini. Bagi saya, sabtu biasanya jadi hari "membabu sedunia". Sepagian bersih-bersih, nyuci pakaian, geser furnitur kamar kalo lagi bosan, atau bongkar lipat isi lemari. Iyaah, kadang saya kasihan lihat pakaian kelamaan dikandangkan di lemari. Mereka juga berhak untuk bernafas. #eh. Nah, minggunya baru hari malas sedunia. #badhabit

Sebelum sesi kucek-kucek, biasanya saya ngais-ngais dapur, cari amunisi buat nyuci. Maklum saya nyucinya manual, pake tangan. Entah kenapa, rasanya tidak puas dengan hasil cucian mesin cuci. Lebih suka kucek-kucek, sikat-sikat, pake mesin untuk "spin" doang. Biar pakaiannya tidak kelamaan di jemuran. Pas ngais-ngais ternyata masih ada sisa ikan cakalang masak kuah yang dibawa bapak dari bulukumba. Mikir sejenak, bagusnya ikannya diolah pagemana biar ngences makannya. Weis, iseng nyoba bikin resep jejadian. Kayaknya sudah agak lama saya hiatus belagak chef di blog ini. Dan tattaaaadaaa...




Bahan :
Ikan cakalang rebus/kukus

Bumbu:
Bawang merah
Bawang putih
Cabe rawit
Lombok besar

Daun bawang
Jeruk nipis (peras)
Garam
Penyedap
Minyak goreng
Bawang goreng

(Sepertinya akan lebih enak bila ditambahkan serei dan jahe, tapi berhubung isi kulkas di penghujung minggu sudah sekarat, jadi saya skip)


Cara membuat:
- Bersihkan ikan cakalang yang sudah dimasak dari tulang, suwir kasar, lalu siram dengan perasan air jeruk nipis. Campur dengan sendok, sisihkan.

-Haluskan bumbu, tambah garam sekucupnya, tumis hingga harum. (Kalau pakai serei, cukup dikeprek dan tumis bersama bumbu halus. Kalau pakai jahe, haluskan bersama bumbu yang lain)


- Setelah harum, masukkan suwiran ikan cakalang, tumis hingga benar-benar kering. 

- Terakhir masukkan irisan daun bawang dan bawang goreng. Selesai.

Mengganti daun bawang dengan kucai ternyata tidak kalah endess,,
Enyaaakk. 
Dicampur nasi bak nasi goreng juga worth it lah.
Enyaaaakk.. 

Simpel dan sukses bikin lidah bergoyang. ^^
Resep jejadian nyang ini, sukses bikin perut begah, kekenyangan.
Alhamdulillah.

Friday 13 January 2017

Sebuah Perjalanan #VisitJogja


"Waktu tidak bisa dimiliki tapi bisa digunakan, tidak bisa disimpan tapi bisa dihabiskan."

Manusia itu ibaratnya perangkat lunak, dibangun dari jutaan sel dengan masa berlaku tertentu. Mother boardnya di kepala, pada setangkup daging lunak bernama otak. Supaya performanya tetap bugar, tentu saja butuh defrag ataupun maintenance secara berkala, demi mengurangi error dan membasmi cache yang menumpuk. Anggap saja proses maintenance itu sebagai vaksinasi, menyuntikkan formula positif dan suplemen yang tepat agar motor bekerja dengan baik.

Pertanyaannya : apa kabar suplemen jiwa? Sudah men-charge mindset untuk pencapaian-pencapaian positif tahun ini?

Dikuasai homunculus, di suatu pagi manusia yang ini menemukan dirinya sendiri tertelan random dan spontanitas, hanya karena tersesat di salah satu website yang menyuguhkan view yang mampu memanggil "feeling peacefully". Tanpa planning muluk-muluk perempuan ini langsung meluncur dan membereskan transaksi di salah satu penyedia layanan tiket online untuk perjalanan esok hari. Mungkin benar, terlalu banyak "cache" di sekian waktu belakangan punya kaitan erat dengan mekanisme penyelamatan/ perlindungan diri seseorang. Mungkin tidak bagi semua, beberapa orang mungkin bisa berdamai dengan suntuk, hidup dari cadangan semangat setiap harinya lalu me-recharge passion di sela-selanya. Bagi perempuan ini tidak. Suntuk adalah elemen kontraproduktif yang harus diberanguskan. Semacam alarm, pada suatu titik ambang batas, tombol maintenance otomatis teraktifasi untuk menyelamatkan "kewarasan".

Kadang saya suka menjuluki diri sebagai "Robo Sapiens", semacam satir untuk homo sapiens yang rutin dilumat jadualisasi. Terbangun di pagi hari untuk rutinitas yang itu-itu saja, sekedar melunaskan waktu sesuai jatahnya, kapan kerja, kapan ishoma, lalu kerja lagi, pulang, tidur, dst. Feel like i'm robot - manusia pabrikan. Terasa kosong, hambar. Seolah-olah ada yang hilang, ada yang tidak lengkap, yang seharusnya disana tapi tidak ada. Padahal engkau masih hidup dengan passion yang sama, ide-ide dan tubuh yang sama. Untuk saya saat "scene itu" hinggap, artinya sama dengan alarm kulminasi saya butuh "melarikan diri" dari rutinitas. Butuh "hilang".

Jogja ternyata pilihan yang tepat, saya kepalang jatuh cinta dengan suasananya.

Bukit Bintang, Gunung Kidul, Jogjakarta
Kelar landed safely, cari makan dan langsung melipir dimaree

Puthuk Setumbu, Bukit Manoreh, Borobudur
Saya rela menukar jam tidur demi menyapa merapi dan merbabu di pagi buta dari tempat ini
Kalau dipikir-pikir perjalanan kali ini sepertinya agak melankoli, saya lebih banyak autisnya ketimbang hebringnya, lebih senang memperhatikan sekitar, alam dan orang-orang di luar sana. Walhasil di 4 hari 4 malam perjalanan spontanitas, destinasinya tempat-tempat yang butuh tracking. Lepas landed safely, cari makan dan langsung lanjut ke Bukit Bintang, Gunung Kidul. Balik ke Blunyah Gede, tidur 2 jam-an dan langsung ke destinasi selanjutnya. Menukar jam tidur demi menyapa sunrise Merapi dan Merbabu dari Puthuk Setumbu. Ternyata ada banyak yang juga mengejar sunrise seperti saya. Di atas benar-benar ramai. Di antara sekian pengunjung, saya sangat tertarik dengan sepasang kakek nenek yang juga ada disana. Seolah tak mau kalah dengan yang muda, turut berjubel menunggu sunrise, menunggu momen tepat untuk cekrek-cekrek. Hati saya tersenyum. Sedikit penyesalan, saya tidak sempat mengabadikan keduanya. Manusiawi lah, nyaman kadang membuat kita lupa. So do I.

Dari Puthuk Setumbu latah melanjutkan tracking sampai Gereja Ayam, Bukit Rhema. Lanjut ke Borobudur, hutan pinus Krangilan, Ketep Pass dan kembali finish di Blunyah Gede. 

Borobudur.
Satu-satunya spot yang bebas dari pikuknya pengunjung

Ketika ekspektasi dan realita sejauh timur dan barat, mari ki' manyuuuunnn..
Krangilan rameeeenyaaa poooll!!
Hutan Pinus Krangilan, Magelang

Ketep Pass
On the way from Jogjakarta to Krangilang, Magelang
Hari kedua tak jauh beda, tidur 3 jam sebelum berburu sunrise. Destinasi kali ini Puncak Kebun Buah Mangunan. Sumpah, view di tempat ini Masya Allah luar biasa. Asri, hijau sejauh mata memandang. Kata adik saya, kalau momennya pas, lautan awan bisa menutup rapi semua pegunungan di sekitar puncak, hitungan semeter dari anjungan. Imajinasi saya bertingkah, mungkin feelnya seperti membuka pintu pesawat dan engkau bebas bermain, bercengkrama, dan bersembunyi di balik awan. :) 

Puncak Kebun Buah Mangunan, Kulonprogo
Sunrise disini juga Masya Allah luar biasa

Tak lama di puncak, kami bergeser ke Hutan Pinus Imogiri. Memang feelnya beda dengan krangilan yang spotnya lebih ke-korea-an, "drakor wanna be" yang viewnya 11-12 dengan nami island di drama "Winter Sonata" dalam versi musim semi. Untuk Imogiri sepertinya lebih cocok sebagai tempat camping atau piknik keluarga. Tak apalah, soonlah kalau ada rejeki main ke Krangilan lagi, tentunya di waktu yang tidak bertepatan dengan hari libur. Sumpaah, rameee. 

Hutan Pinus Imogiri, Mangunan
Rencana awal dari Imogiri langsung ke Hutan Mangrove Kulon Progo, tapi berhubung "kampung tengah" sudah tidak kompromi, mobil melipir entah kemana. Niat cari sarapan, ketemu plang Pantai Glagah, pikiran awal, "well, its gonna good if we have fresh fish for breakfast there", Dan kadang nyasar sama Tuhan itu dikasi doorprice view yang syantips. Pantai Glagah ternyata keren, breakwater di tempat itu ketjeh. Katanya Glagah - Congot itu masih nyambung dengan Parangtritis, mungkin ini alasan ombaknya luar biasa besar. Beda jauh dengan ombak-ombak di Sulawesi. Saya iseng berjalan ke arah anjungan, penasaran dengan orang-orang yang sedang berkerumun disana. Si adik masih autis dengan spot pemecah ombak disebelah kiri, belum tahu dia, diujung kelokan viewnya lebih luar biasa.

Pantai Glagah - Congot, Kulonprogo
Sekitar 20 meter dari hulu anjungan pemecah ombak gantian saya bengong. Awalnya takjub dengan tingginya ombak, membiarkan percikan-percikan asin air laut mengenai kulit. Hampir 10 menitan dan akhirnya kabur setelah dapat surprise ombak paling besar, tiang tinggi berwarna merah di ujung anjungan bahkan hilang seolah dilumat ombak. Berdiri 20 meter dari ujung anjungan dan rok saya basah selutut. Syok. Tak lama bapak-bapak polisi memasang garis polisi, mengamankan lokasi. Ternyata itu alasan kenapa di posko depan ramai oleh bapak-bapak berseragam coklat. Saya memilih duduk-duduk di salah satu break water sembari menunggu si adik.

Tak jauh dari tempat saya ada seorang gadis kecil sedang asyik bermain dengan ayahnya. Sumringah memainkan sisa-sisa sapuan ombak besar sebelumnya. Hati saya tersenyum. Ada hangat disana. Sama ketika menunggu antrian naek kletek di Kulon Progo, sembari mendengarkan curhatan di bapak penjaga loket kletek tentang persaingan bisnis antar pemilik pengolah wahana wisata hutan magrove, mata saya tidak sengaja melihat 3 orang anak kecil, 2 diantaranya laki-laki. Sepertinya ada sesuatu di bawah jembatan yang menarik perhatian mereka. Ketiganya berjongkok sembari menunjuk-nunjuk sesuatu di bawah. Heboh. Sampai seorang gadis kecil lainnya (sedikit lebih besar dari ketiganya) mendekat, sedikit rempong mengimbangi payung besar yang membuka lebar di tangannya. Sepertinya dia mengajak ketiga anak lainnya untuk kembali ke bangunan sebelah. Tiga anak kecil sebelumnya berdiri dan seolah refleks 2 anak lelaki tadi berjalan di kiri kanan si gadis kecil yang pertama, seakan-akan menahan panasnya matahari untuk si kecil. Si anak perempuan terkecil tersenyum dan mengapit lengan kedua anak laki-laki sembari ikut bernaung di bawah payung si kakak. Betapa menggemaskannya mereka.


Hutan Mangrove, Kulonprogo
Hari ketiga, berhubung si adik ada kerjaan, walhasil saya mutar-mutarnya sama si "Mamak Kucing" yang 6 tahun terakhir menetap di Jogja. Kawan yang jaman SMA sampai sekarang masih persis "Dia", even long time no see. Feelnya tetap fresh dan renyah bak terakhir ketemu kemarin sore. Si Mamak Kucing yang masih cinta mati sama kecap, nocturnal, pantangan sama tracking tapi lucunya selalu menang dari saya kalau maraton di lintasan datar, Si "AB" super aneh bin ajaib yang percaya si "O" yang ini adalah jajahan abadinya. Tapi sumpah, saya jatuh cinta berkali-kali dengan kepalanya yang asyik diajak random talk. Saya percaya dimensi berpikir kami berseberangan, uniknya entah kenapa itu seperti pahitnya kopi hitam dan manisnya gula merah yang saling menggenapkan. Bisa ditebak, pembicaraanpun mekar kemana-mana. Sepertinya suntuk saya banyak menguap dari pembicaraan ngalor-ngidul dengan manusia yang ini. Mungkin memang saya sedang rindu dengan perempuan ini, yang mampu me-rumah-kan pikiran-pikiran saya yang selama ini mengambang.


Pasar Beringharjo
Mirota Batik.
Alun-alun Kidul, Jogjakarta
Kalau dua hari sebelumnya saya banyak autis, maka tidak di hari bersama mamak kucing. Sepagian di Beringharjo, saya sudah mangkal dengan mamang penjual winko babat tradisional. Sedikit mencereweti si mamang sampai dianya bersedia menyerahkan dudukan dagangannya kepada saya. Ternyata winko babat tradisional, rasanya beda jauh dengan winko babat yang biasanya jadi oleh-oleh teman barak kalau pulang cuti. Saya lebih berdamai dengan rasa asin legit di winko babat si mamang. Main ke Beringharjo ternyata tidak bisa tanpa sesi belanja. Meskipun dari awal kedatangan saya sudah memantapkan hati kalau perjalanan kali ini hanya melepas suntuk, freshing dengan berdamai dengan alam, wisata belanja big no, ternyata.. Faktanya, timbangan dompet tetap saja berhasil turun. Hahha.. Pesona batik memang bisa membutakan mata, belum lagi barang-barang lucu lainnya. Ah, saya masih perempuan ternyata. Si mamak kucing saja surprising, "selera kamu ternyata perempuan banget, nek", katanya. Saya tersenyum, sembari mengingat-ingat, apa iya jaman SMA saya se-doif itu. Lol.


Prambanan, Jogjakarta

Upside Down
Outernya anti gravitasi. What a Lol!
Semua tentang Jogja adalah suasananya, ada ribuan cerita di angkringan yang berjajar rapi tak berujung, tentang bapak sopir taksi yang asik diajak bicara politik indonesia, yang menyimpan racun destinasi wisata menarik di smartphonenya, pada panggilan salah alamat kepada seorang nenek setiap kali memanggil "nek" pada mamak kucing, hangat dari sepasang kakek nenek di Puthuk Setumbuh pagi itu, sumringahnya gadis kecil saat bermain bersama ayahnya, juga kelucuan anak-anak kecil di hutan mangrove kulonprogo, pada si mamak kucing yang berhasil me-rumah-kan pikiran-pikiran saya. Sepertinya ada rindu yang terlunaskan. Terima kasih jogja.

Balik lagi, pertanyaannya : 
Apa kabar suplemen jiwa? Sudah men-charge mindset untuk pencapaian-pencapaian positif tahun ini?

Suplemen jiwa mungkin belum sempurna, tapi saya yakin hardisk saya sudah cukup bersih dari cache untuk disesaki folder-folder selanjutnya. Saya menyadari satu hal, banyak hangat yang bisa meluruh di hati bahkan matamu, hanya dengan meluangkan sedikit space di kepalamu untuk hal-hal kecil yang sering terlupakan. Memandang lebih jauh ke orang-orang disekitarmu. Saya bisa tetap menjadi Robo Sapiens, tapi dengan perasaan dan energi yang lebih baik. Kalau kata kawan saya, "Karena kamera terbaik tetap ada di otak dan lensa tercanggih tetap di mata...". Suplemen terbaik ada disana, di mata dan telingamu. Semoga yang terbaik untuk tahun ini, teruntuk sesiapa yang mau berusaha. 


Credit:
Quote pembuka nyamplok tagline di bawah patung pas maen di Mirota
Quote kawan di paragraf akhir nyolong punya kak Imma Arsyad