Tuesday 23 May 2017

Iqra'

Saya sedang finishing konsep proyek perubahan atasan, ketika sebaris pesan spam mampir di selular. Ekspresi pertama, saya tersenyum, apa ini waktunya ngalor-ngidul lagi? Beberapa kawan kadang datang dengan "spam" semacam ini. Beberapa orang mungkin akan berkata, "Apa sih? Gak penting amat". :)


Sesi selanjutnya mungkin akan terdengar sangat konseptual. Sungguh, ini bukan sesi jumawa, saya sedang menuliskan penguatan-penguatan untuk diri saya sendiri. Bagi saya, orang-orang harus terus berdiskusi untuk tetap "waras". Malah justru menyenangkan, tak jarang subjektifitas menjadi bijak saat dikomunikasikan, dimulai dengan berbagi pendapat tentunya. Trust me. 

"Bagaimana pandanganmu terhadap orang-orang yang kadang berkesimpulan, proyeknya goals karena rajin Dhuha atau dagangannya lancar setelah naik haji dan berdoa disana? Masihkah ada terselip rasa sombong?"

Sebuah pertanyaan sederhana yang ternyata bisa mengajak berfikir dan berkontemplasi. Terbukti, satu setengah jam setelahnya terlewatkan hanya dengan membahas pertanyaan ini. 

Mungkin semua akan mengamini bahwa tidak ada yang benar-benar tahu isi hati manusia selain dia sendiri dan pencipta. Satu-satunya yang membedakan pribadi yang satu dengan yang lain adalah caranya membuat dan atau menemukan penguatan-penguatan untuk dirinya. Di perjalanan menemukan "penguatan-penguatan" tidak melulu dihadiahi "reward" dari sang pencipta. Kita meminta, berusaha, kadang hingga jatuh bangun tapi solusi tak kunjung datang. Proyek goals ataupun dagangan lancar karena Tuhan sedang menjawab. Dhuha dan naik haji hanya sarananya. Metode "penguatan" yang dipilih si fulan/ fulanah.

Bagi si fulan dan fulanah yang sudah jatuh bangun, kerja keras banting tulang, ikhtiarnya sudah luar biasa tapi reward tak kunjung datang, jangan sekali-kali berkecil hati. Bisa jadi, Tuhan sedang menghampiri dengan cara yang lain. Mungkin lewat ujian, si fulan/ fulanah sedang diajarkan hikmah yang lain, agar ia lebih kuat, lebih banyak belajar dan lebih bersyukur dengan keadaannya. Allah menjanjikan meninggikan derajat orang-orang yang sabar.

"Sungguh Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjuang dan orang-orang yang sabar diantara kamu sekalian". (QS Muhammad, 47 : 31)

Sabar memang bukan perkara mudah, karenanya manusia diperintahkan untuk belajar. Agama adalah perkara yang harus di-ilmu-i. Iqra'.., baca buku, baca sekitar, mari belajar. Kalau kata ki hajar, "jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru". Benar bahwa yang membedakan kita yang dulu dan kita yang sekarang adalah pemahaman. Casing mungkin boleh sama, chipnya yang berubah, sudah di-upgrade sepanjang waktu. Pada jasad yang itu-itu juga, pemahaman dan pengalaman sudah sangat kaya, baik intensitas maupun kualitas.

Yang lucu, terkadang manusia sendiri tidak sadar kalau sebenarnya ia sedang menjalani proses belajar. Ada saja masalah yang terulang, sama tetapi hadir di waktu yang berbeda. Di kali kedua harusnya solusi yang kita pilih lebih baik daripada di kali pertama. Sebab di kali pertama, kita sudah menjalani solusinya, mengenal baik aksi-reaksinya. Di kali kedua, akal akan merespon, "oh, mungkin akan lebih baik bila saya melakukan ini". Mengapa? Sebab pengalaman berbicara dan akal merespon dengan menemukan manuver baru.

Hidup itu seperti ujian kenaikan kelas. Ada level-levelnya. Ketika pelajaran kelas satu sudah khatam, sok atuh manggaa.. ka kelas dua, tiga, dst. Bagi saya, ini salah satu cara Tuhan mengajarkan hamba-Nya. Salah satu alasan mengapa islam mengajarkan habluminallah (hubungan baik dengan Allah)  dan habluminannas (hubungan baik dengan sesama manusia). Sebab untuk bisa naik level, manusia membutuhkan manusia lain untuk belajar. Tanpa interaksi dengan sesamanya, mustahil manusia bisa belajar.

Setiap dari kita memiliki masalah masing-masing dengan intensitasnya tersendiri. Kadang masalah bahkan menjebak hingga depresi. Bisa jadi masalah yang sama menghinggapi dua pribadi, si A dan si B. Faktanya, si A mampu survive melewati, tetapi si B malah memilih bunuh diri, lari dari kenyataan. Mengapa si A mampu survive? Ternyata ia menjaga dengan baik habluminannas-nya, hubungan dengan sesama manusia. Ada kawan yang bisa memberikan penguatan atau apalah. Si A memiliki sarana belajar, iqra', sedang si B tidak. Maka beruntunglah orang-orang yang senantiasa terbuka hatinya untuk belajar. Semoga kita termasuk di dalamnya. 

#hanamasa
#latepost
#bumiaccilong

Saturday 6 May 2017

Dua Sisi Mata Uang

Tadi pagi tidak sengaja dapat pemandangan ini sepulang cek lokasi banjir Tontonan. Beberapa orang sedang panen bawang merah.

Lokasi Lingkungan Tontonan, Kelurahan Tanete, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.
Sejak Kecamatan Anggeraja menjadi sentra budidaya tanaman bawang merah, muncul kelompok-kelompok baru dalam masyarakat. Mereka menyebut diri "pang-karyawan" artinya semacam buruh tani insidental yang biasanya menjual tenaganya untuk membantu panen bawang ataupun menanam bawang. Kegiatannya disebut “mangkaryawan”. Biasanya mereka  bekerja secara tim dengan seorang ketua sebagai pusat komando yang berfungsi sebagai “agen”, penghubung antara pemilik lahan dan mangkaryawan. Pemilik lahan yang membutuhkan tenaga, biasanya akan menghubungi "si Ketua", entah itu untuk menanam bibit bawang, memanen bawang ataupun pengelolaan bawang siap jual.

Yang unik dari "mangkaryawan", kelompok ini tidak mewakili strata sosial tertentu. Dari kalangan ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pensiunan, semua membaur jadi satu. Motivasinya sederhana, bila di rumah hanya duduk-duduk saja tanpa menghasilkan, maka ikut "mang-karyawan" beda. Walaupun kegiatannya butuh tenaga, bisa dilakukan juga dengan santai, ada lahan berinteraksi dengan sesama (buibu kan kadang suka cerita ngalor-ngidul, sambil kerja, cerita dengan kawanpun jadi), bisa refreshing, melihat tempat-tempat baru (tak jarang tenaga mereka juga dibutuhkan dari desa/kelurahan/kecamatan sebelah). Di atas semua kesenangan ini, receh juga masuk kantong. Sistem yang digunakan biasanya borongan, kalau maksimal, bisa bergeser sampai 3 (tiga) tempat selama sehari. Dengan gaji yang berbeda disetiap tempat. Yang unik lagi, mereka bisa request menu makan sesukanya. Magnet yang cukup komplit.

Selain "pang-karyawan", ada lagi kelompok "pang-ojek". Kalau biasanya "pang-karyawan" ini didominasi ibu-ibu atau para perempuan, maka "pang-ojek" biasanya dari kalangan bapak-bapak atau kaum lelaki. Tugas mereka mengangkut dan memindahkan bawang hasil panen dari kebun  ke rumah si pemilik menggunakan motor trail. Bisa kebayang riuh-nya kalau rombongan motor trail "pang-ojek" ini, masuk pemukiman. 

Do you notice something?
Bila ditelisik lebih jauh, "mang-karyawan" sepertinya mulai menjadi gaya hidup yang baru. Ini "ruh"-nya semacam gotong-royong yang dikomersilkan, ketika bahu-membahu bernilai uang. Terkadang, mobilisasi penduduk yang luar biasa mampu melahirkan “kearifan lokal baru” di tengah-tengah masyarakat. Tak jarang pula, justru mengaburkan bahkan mematikan budaya lokal. Dalam masyarakat kompleks, akulturasi semacam ini sangat sulit direm. Sebab faktor ekonomi selalu menjadi konklusi akhir, kambing hitam yang klise.

Budidaya tanaman bawang merah telah terbukti meningkatkan ekonomi masyarakat. Fajar Online menyebutkan per 2016, penabung terbesar di BRI Enrekang adalah kalangan petani bawang merah, dengan digit mencapai Rp. 50 M. Keuntungan puluhan hingga ratusan juta sudah biasa dinikmati petani. Jalan menuju masyarakat agropolitan semakin terbuka lebar. Bawang juga yang membuat Kabupaten Enrekang diperhitungkan di kancah nasional. Data dari Kementrian Pertanian yang dilansir media online Rakyatku, untuk median maret - april 2017, Enrekang memiliki jumlah produksi tertinggi mencapai angka 400 ton, mengungguli Bima - NTB dan Brebes - Jateng yang produksinya menurun. 

Melihat ke belakang, sekitar tahun 2014, ketika harga bawang merah mencapai Rp. 80.000,-/ kg, dalam sebulan, hampir 20 orang kepala keluarga mengajukan permohonan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) ke kantor kelurahan. Dan semuanya rata-rata mengusulkan membangun rumah kayu dengan bahan dasar kayu ulin/ kayu besi. Luar biasa. Tak heran, masyarakat menjadikan budidaya tanaman bawang merah mata pencaharian utama, bahkan sidejob bagi para PNS.

Di satu sisi, budidaya bawang merah telah berhasil mengawal masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera. Tetapi di sisi lain, budidaya bawang merah juga melahirkan momok baru. Bawang merah yang menggiurkan, berdampak langsung ke lingkungan. Pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, mengurangi luasan daerah resapan air secara signifikan. Penggundulan mulai terlihat dimana-mana, banjir dan longsor mengintai setiap kali hujan datang, penggunaan pestisida pun tak jarang memakan korban, kasus sengketa tanah menjamur.

Sosial kultural masyarakat pun mulai berubah. Besarnya keuntungan budidaya tanaman bawang merah, memunculkan kelompok-kelompok sosialita, juragan-juragan bawang. Dengan mudahnya anak-anak diberikan fasilitas, mulai smartphone, sepeda motor dan bahkan mobil. Tanpa dibatasi, tanpa pembimbingan dari orang tua. Mulai marak kasus sosial, tawuran antar kelompok, pernikahan dini, isu perselingkuhan. Kalau dulu, naik pesawat adalah sesuatu yang mahal dan jarang, bawang mengubah masyarakat dengan mudah melakukan apapun. Pelesir menjadi sebuah kewajiban, destinasi domestik, tak jarang luar negeri. Eksistensi semakin wajib dan dicari, berlomba-lomba mendaftar untuk muncul di tv dalam acara "Mama Dedeh" ataupun "Islam itu Indah". Update sosial media menjadi sunnah muakkad. Ironi.

Alhamdulillahnya, diatas semua kompleksitas pergeseran sosio-kultural tersebut, ada juga yang menggembirakan. Jumlah jemaah umrah di Kecamatan Anggeraja selama 2 (dua) tahun terakhir meningkat. April kemarin, sekitar 300-an orang jamaah berangkat ke Makkah untuk Umrah, melalui agen masing-masing. Untuk ukuran kecamatan kecil, ini adalah angka yang fantastik. Semoga menjamurnya travel umrah, mampu menguatkan pondasi religius yang telah lebih dahulu menjadi bagian masyarakat ini.

NB :
Hanamasa.
Malam minggu se-random ini. 
Sehat, buk? Hahhaha.