Siapa yang tidak kenal SUPER JUNIOR? Kalo beberapa waktu kemarin pertanyaan itu dikemukakan, sepertinya masih banyak yang ngacung. Tapi kalo hari ini pertanyaan serupa dilontarkan, sepertinya hampir semua tahu itu. Konser Super Show 4 selama 3 hari berturut-turut di Indonesia sudah cukup mem-booming-kan nama "SUPER JUNIOR" boyband Korea besutan SMnet. ELF (sebutan untuk fans suju) klepek-klepek, malah tak kurang yang jadi ELF dadakan.
Tak heran, euforia super dahsyat mencuat dimana-mana, SS4INA menjadi trending topic berhari-hari di Twitter, Facebook, liputan-liputan infotainment, koran, bahkan stasiun tipi yang biasanya notabene full berita pun menyiarkan hal yang serupa. Mendadak bahasan ini juga ramai menjadi perbincangan hangat para budayawan Indonesia. Wih, betapa hebatnya passion K-Pop yang sedang melanda Indonesia. Jujur saja, saya juga salah satu penikmatnya. Hei, kita tidak sedang membicarakan boyband!
Sejak SMP, saya selalu tertarik dengan hal-hal yang berbau budaya tapi bukan fanatik. Selain indonesia yang multi-etnis, budaya Jepang dan korea adalah dua ketertarikan terbesar saya, mulai dari pakaian adatnya (kimono dan hanbok), upacara minum teh, kebiasaan membungkuk mereka. Rasanya sesuatu.. :P #eaa.. Semakin kesini ternyata ketertarikan saya tidak pernah berhenti, dan tentu saja berharap suatu saat bisa menjejalkan kaki di sana terutama di Kyoto (Jepang) dan Nami Island (Chuncheon, Korea Selatan), yang pernah nonton "Winter Sonata" pasti tahu. Ah, lupakan basa-basi ini.
Back to focus, sebenarnya kenapa budaya Korean begitu booming belakangan ini?
Dari
sebuah artikel disebutkan kalau semua itu tidak terlepas dari perencanaan matang pemerintah Korsel menjadikan K-pop sebagai ladang bisnis demi membangun perekonomian lewat jalur seni. Dimulai sekitar tahun 80-an saat pemerintah Korsel merancang Korea masa depan dengan memberikan beasiswa besar-besaran kepada artis dan seniman-seniman negaranya untuk belajar ke Amerika Serikat dan eropa. Dan setelah 20 tahun kemudian, Korsel memetik hasil yang manis. Data The Korea creative Content Agencys menyebutkan, tahun 2011, Korea mendapatkan keuntungan hingga 35 trilliun dari bisnis K-Pop, 14 % lebih tinggi dibanding pencapaian tahun sebelumnya. Sungguh luar biasa. Bisa dibilang, pemerintah Korsel sangat pintar membaca pasar, fokus pada pengembangan seni, lalu perlahan tapi pasti merambah ke pengenalan wisata, bisnis fashion, gadget, kuliner dan semua tetek bengeknya.
Sebut saja Drama Korea, penikmat drakor pasti sadar sepenuhnya kalau ini sarana promosi nomor wahid bagi korea. Investasi propaganda budaya pop Korea disisipi dalam drama dengan begitu manis. Beberapa hal menurut persfektif saya seperti ini:
- Skenario Cerita
Daya pikat drakor yang paling utama ada di alur cerita dan para pemerannya. Nilai plusnya, skenario disana tidak dibuat berdasarkan rating. Penulis skenario bertanggung jawab pada isi cerita, bukan pada rating. Sekalipun cerita juga menentukan rating, tapi tugas artis dan tim kreatif lebih banyak untuk bagian itu. Berbeda dengan sinetron-sinetron kita, skenario berkembang berdasarkan rating. Begitu cerita mendapat hati di masyarakat, rating tinggi, maka mendadak pula cerita mulai berbelit-belit, khas sinetron. Penikmat berspesies seperti saya dengan segera memindahkan channel. Sebelum jadwal syuting dimulai jumlah episode sudah ditentukan, konflik dan ending akan seperti apa. Mereka tahu porsi yang tepat tanpa membuat penonton "enek". Penikmat jenis saya akan duduk manis kalau begini. :P
- Artis
Selain skenario, artis atau pemeran adalah faktor penarik yang juga sangat menentukan. Menurut saya, mereka profesional. Kebanyakan tumbuh dan berkembang menjadi artis melalui serangkaian traine, mereka matang tidak abal-abal. Beberapa artis (apalagi boyband) perlu bertahun-tahun traine untuk bisa debut. Itupun ukan jaminan.Uniknya, bahkan yang berbakat artis pun tahu diri dan sadar bahwa perlu belajar untuk lebih baik lagi. Jadi tidak heran, kalau kebanyakan mereka mengambil jurusan seni, sekolah atau universitas berbau seni.
- Lokasi Syuting
Promosi budaya dan pariwisata biasanya muncul disini. Drakor biasanya mengambil lokasi syuting yang benar-benar membuat penasaran untuk dikunjungi. Contoh kecil, Nami Island.
|
Warna musim gugur di Nami Island, mupeng cuy. |
Sebelum pulau kecil itu jadi setting drama "Winter Sonata", pengunjungnya sangat sepi, sekitar 200.000 per tahun, itupun hanya wisatawan domestik. Tetapi begitu muncul di drama, pengunjung meningkat pesat hingga mencapai 1,6 juta turis per tahun. Fantastis. Belum termasuk turis yang sengaja mendatangi tempat-tempat lain di Korsel hanya karena penasaran setelah melihatnya di drama, sebut saja pulau jeju, Shilla Millenium Park, Namsan Park, Banpo Bridge di sungai han, dll. Bayangkan seberapa besar keuntungan yang diperoleh.
- Gadget/ teknologi dan media online
Samsung. Yap, siapa sih yang tidak tahu smartphone vendor asal Korsel yang sekarang makin mendunia (lupakan dulu perseteruannya dengan apple). Dan lagi-lagi, bisnis seni seperti drama paling mumpuni sebagai ladang promosi gadget satu ini. Ah, mupeng dah sama Galaxy series, apalagi galaxy note. #ngarep bener ada yang ngasih. :P Ada lagi, setiap kali memproduksi drama, pasti akan lahir website baru khusus membahas drama, pengenalan tokoh, menampung pendapat dsb (Ini di luar website utama yang merangkum sinopsis drama yang sudah, sedang dan akan tayang - maksudnya diluar koreandrama.org). Mereka maksimalkan teknologi dan media online untuk promosi. Sangat terbuka.
- OST
Dan tidak ada drama tanpa OST. Kali ini, lagi-lagi drama dijadikan sarana promosi bagi sejumlah penyanyi-penyanyi berbakat Korea. Setali tiga uang, selebritis yang jago akting makin bersinar begitu juga penyanyinya. Kalau di Indonesia, ost biasanya dicomot dari lagu-lagu yang sedang in, atau memang sudah ada. Sedang di Seoul sana, drama tanpa ost tidak akan komplit. Tugas tim produksi bukan hanya mengkomunikasikan skenario menjadi benda yang bergerak, tapi juga memaksimalkan bagian-bagian pendukung yang posisinya wajib seperti ost. Ini bisa menjadi ciri khas dari masing-masing drama. Kalaupun mengambil ost dari lagu yang sudah ada, biasanya selalu di aransemen ulang.
- Riset dan Ilmiah
Maksud saya, drama biasanya mengambil tema-tema tertentu seperti perusahaan, devisi pemasaran, dunia medis, kriminal dll. Dan yang menarik, tema-tema seperti itu selalu digarap dengan menyertakan bagaimana devisi pemasaran, dunia medis bahkan kriminal yang sebenarnya. Saya pribadi sering mendapatkan fakta-fakta, informasi pun pengetahuan baru saat menonton drama. Paling terasa saat nonton drama kerajaan (istilahnya sageuk), sebut saja seperti Queen Seon Doek (drama favorit neh). Tanpa sengaja saya mendapat banyak pengetahuan dari drama tersebut. Jadi tahu ajaran-ajaran Kong Fu Chu, Kitab musim semi dan musim gugur, doktrin ajaran tengah dan bahkan tahu tiga kerajaan besar jaman joseon seperti Shilla, Goguryeo dan Baekje. Unbelievable! Padahal jaman sekolahan dulu saya spesies yang selalu kabur ke kursi belakang saat pelajaran sejarah. Paling melek saat bahasannya mitologi yunani dan romawi.
Sangat hebat, drama bisa jadi alat ajar yang mengasikkan. Seandainya di indonesia juga seperti itu, pasti masyarakat juga melek sejarah. Jujur saja, saya nol perihal sejarah kerajaan-kerajaan nusantara. Okelah, ada beberapa drama kolosal yang sempat airing di beberapa stasiun tipi, tapi saya pribadi tidak tertarik dengan kemasannya. Bukankah dunia hiburan seperti itu? Kemasan memang bukan hal utama, tapi tetap saja, yang menentukan sesuatu itu menjual, kan kemasan.
Hm, mungkin karena beberapa alasan itulah Korean wave begitu mudah diterima dunia.
Ada nilai budaya yang selalu diselip dalam skenario-skenario drama, pengenalan kultur, fashion, kuliner sampai bahasanya. Bersinar di bisnis hiburan, sekarang Korea sedang getol-getolnya mengembangkan wisata medis, terutama operasi plastik. Ckckkck..
Meng-compare bisnis hiburan kita dengan Korea bukan berarti saya sedang nge-bully Indonesia. Saya beranggapan kita mesti tahu dan jujur mengakui di level mana kita. Dengan begitu akan ada kesempatan untuk berbenah, tidak ada salahnya mencontoh, mereformasi yang jelek menjadi lebih baik. Bahkan seorang calon pemimpin pun sebelum menjadi pemimpin yang sebenarnya harus belajar mengikuti (saya lupa dengar ini dari siapa). Saya mimpi tentang indonesia suatu hari yang matang secara ekonomi, kultur dan benar-benar mandiri. Tidak perlu berlindung di bawah negara adikuasa, bisa menentukan harga minyak sendiri, berdiri di atas kaki sendiri (#ngelantur kemana-mana). Ambil yang positif lalu ramu dengan inovasi pun penambahan alternatif/ aspek lain yang lebih praktis dan menjanjikan. Bukankah esensi belajar seperti itu?
Toh, dibalik semua itu, tidak pernah ada kesempurnaan yang hakiki. Pencapaian sehebat apapun tetap saja harus dibayar mahal. Sudah rahasia umum tingkat depresi dan bunuh diri (terutama para artis) masih tinggi di korea. Lagi-lagi pencapaian secara fisik tidak selalu berbanding lurus dengan kepuasan bathin, terutama bagi mereka yang tidak berTuhan. Yah, logikanya negara atheis angka bunuh dirinya tinggi. Sangat disayangkan Korea termasuk di dalamnya.