Mari sedikit berbicara politik. :)
Isu terakhir negeri ini, masih saja berputar-putar pada para punggawa-punggawa politik yang dinilai berpotensi dan memiliki kans besar untuk mengisi posisi Presiden yang sedianya akan berakhir 2014 nanti (tangguhkan dulu kasus Aceng yang sedang hangat-hangatnya). Lembaga-lembaga survei semakin pro aktif mengukur elektabilitas beberapa jagoan negeri ini. Menariknya, dari survei tersebut, masyarakat lebih banyak menjagokan kandidat dari non partai. Muncul kesan, kepercayaan masyarakat menurun drastis terhadap partai. Isu korupsi di tubuh sejumlah parpol sepertinya bisa menjadi kambing hitam dari segalanya.
Dan sudah rahasia umum pula, untuk tujuan RI-1, Prov-1, Kab-1 (istilahnya maksa, inti na mah, orang nomor satu di wilayah kekuasaan masing-masing) sejumlah jagoan negeri sedang getol-getolnya memeras otak, mencari jalan paling santun nan cantik untuk menawan hati rakyat. Pencitraan, tentu saja. Aktif di sejumlah kegiatan sosial, sering-sering muncul di media, umbar isu ini itu yang tentunya bisa me-mulus-kan perjalannya dan menghambat yang lain. Dan lagi-lagi dengan cara yang santun dan elegan tanpa melahirkan kesan buruk dan tendensi apapun. Semacam penggiringan opini tanpa meninggalkan zona nyaman. #Prolognya kejauhan.
Nyatanya cara cantik dan elegan itu benar-benar ada. Managemen "Prihatin" bisa jadi salah satunya. Saya membaca artikel singkat terkait dengan hal tersebut di koran lokal Sul-Sel, pagi tadi. Tepatnya kolom opini koran Fajar edisi Rabu, 5 Desember 2012, ditulis oleh salah seorang alumni Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Kolomnya kurang lebih membahas keramahan orang Indonesia yang kebablasan. Kearifan lokal orang Indonesia yang katanya jadi daya tarik tersendiri bagi turis asing. Tapi sapa nyana, dalam dunia politik, managemen prihatin ternyata bisa menjadi motor yang potensial untuk meningkatkan elektabilitas. Keramahan dan prihatin adalah kondisi psikis yang sepaket. Maksud saya seperti ini, keramahan yang harusnya berkembang positif, dalam perjalanannya malah bisa menyeberang jauh dan menghampiri bahkan melahirkan sisi negatif. Prosesnya kurang lebih begini, RAMAH - MEMBUKA DIRI - LAHIR EMPATI. Di empati inilah bagian "keprihatinan" muncul, berpangkal dari merasa berempati pada sesuatu dan berujung pada rasa prihatin terhadap sesuatu. Semacam efek domino, runtut, rapi, kontinu, pasti.
Kolomnya kurang lebih membahas keramahan orang Indonesia yang kebablasan. Kearifan lokal orang Indonesia yang katanya jadi daya tarik tersendiri bagi turis asing. Tapi sapa nyana, dalam dunia politik, managemen prihatin ternyata bisa menjadi motor yang potensial untuk meningkatkan elektabilitas. Keramahan dan prihatin adalah kondisi psikis yang sepaket. Maksud saya seperti ini, keramahan yang harusnya berkembang positif, dalam perjalanannya malah bisa menyeberang jauh dan menghampiri bahkan melahirkan sisi negatif. Prosesnya kurang lebih begini, RAMAH - MEMBUKA DIRI - LAHIR EMPATI. Di empati inilah bagian "keprihatinan" muncul, berpangkal dari merasa berempati pada sesuatu dan berujung pada rasa prihatin terhadap sesuatu. Semacam efek domino, runtut, rapi, kontinu, pasti.
Masa pemerintahan Gus Dur misalnya. Pemecatan Jusuf Kalla saat menjabat Menteri Perindustrian dari Kabinet Gus Dur tahun 2000 karena tuduhan terlibat KKN, padahal nota benenya JK adalah sosok bersih, pengusaha yang kuat secara finansial dan permodalan. Tindakan sepihak itu membangunkan rasa "prihatin" masyarakat bahkan tak sedikit yang bersimpati dengan beliau. Hasilnya nama JK semakin dikenal di masyarakat. Atau ketika masa pemerintahan Megawati. SBY (ketika menjabat sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong tahun 2004) menjadi sangat dikenal masyarakat dikarenakan isu pengucilan oleh Presiden Megawati dikarenakan tindakan SBY yang mengiklankan sejumlah program kerja departemennya. Catatan lengkapnya disini. Belum lagi sebelumnya pada masa pemerintahan Gus Dur, SBY pernah didesak mundur dari jabatan Menteri setelah terjadi ketegangan antara Gus Dur dan DPR (terkait kasus Buloggate dan Brunaigate). Lagi-lagi rasa "turut prihatin" dan simpati membumi. Sama-sama menjadi korban dan sepakat menjadi kendidat Capres dan Cawapres pada Pemilu 2004 ditambah sejumlah track record yang mengundang simpati masyarakat, sempurna mengukuhkan keduanya sebagai orang nomor satunya Indonesia.
Saya tidak sedang mengatakan kalau beliau-beliau memanipulasi animo dan dukungan masyarakat dengan rasa prihatin. Hanya mengacukan beberapa contoh bahwa celah penyalahgunaan "rasa prihatin" itu ada. Dan bagi sejumlah tim sukses yang tahu itu dan punya mental sedikit "melenceng" (tipikal menghalalkan segala macam cara), itu bisa bisa jadi misil yang sangat potensial. Yah, "Prihatin" punya peluang besar untuk meningkatkan elektabilitas seseorang. Dan tanpa payung hukum yang kuat, sah-sah saja bila ada oknum yang menggenjot popularitas lewat jalur tersebut. Sangat disayangkan saat bentuk kearifan lokal kita yang dikenal sebagai bangsa yang ramah di muka dunia, disalahkan oknum tidak bertanggung jawab. Maka berhati-hatilah mengolah "rasa", mari sama-sama mengenali dunia dan manusia-manusianya. Harapan saya, seperti penulis kolom opini di harian Fajar pagi tadi :
Semoga keramahan dan kebaikan hati orang Indonesia tidak dieksploitasi kepada hal-hal yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.