Wednesday 19 December 2012

Manajemen "Prihatin"

Mari sedikit berbicara politik. :)

Isu terakhir negeri ini, masih saja berputar-putar pada para punggawa-punggawa politik yang dinilai berpotensi dan memiliki kans besar untuk mengisi posisi Presiden yang sedianya akan berakhir 2014 nanti (tangguhkan dulu kasus Aceng yang sedang hangat-hangatnya). Lembaga-lembaga survei semakin pro aktif mengukur elektabilitas beberapa jagoan negeri ini. Menariknya, dari survei tersebut, masyarakat lebih banyak menjagokan kandidat dari non partai. Muncul kesan, kepercayaan masyarakat menurun drastis terhadap partai. Isu korupsi di tubuh sejumlah parpol sepertinya bisa menjadi kambing hitam dari segalanya. 

Dan sudah rahasia umum pula, untuk tujuan RI-1, Prov-1, Kab-1 (istilahnya maksa, inti na mah, orang nomor satu di wilayah kekuasaan masing-masing) sejumlah jagoan negeri sedang getol-getolnya memeras otak, mencari jalan paling santun nan cantik untuk menawan hati rakyat. Pencitraan, tentu saja. Aktif di sejumlah kegiatan sosial, sering-sering muncul di media, umbar isu ini itu yang tentunya bisa me-mulus-kan perjalannya dan menghambat yang lain. Dan lagi-lagi dengan cara yang santun dan elegan tanpa melahirkan kesan buruk dan tendensi apapun. Semacam penggiringan opini tanpa meninggalkan zona nyaman. #Prolognya kejauhan.

Nyatanya cara cantik dan elegan itu benar-benar ada. Managemen "Prihatin" bisa jadi salah satunya. Saya membaca artikel singkat terkait dengan hal tersebut di koran lokal Sul-Sel, pagi tadi. Tepatnya kolom opini koran Fajar edisi Rabu, 5 Desember 2012, ditulis oleh salah seorang alumni Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Kolomnya kurang lebih membahas keramahan orang Indonesia yang kebablasan. Kearifan lokal orang Indonesia yang katanya jadi daya tarik tersendiri bagi turis asing. Tapi sapa nyana, dalam dunia politik, managemen prihatin ternyata bisa menjadi motor yang potensial untuk meningkatkan elektabilitas. Keramahan dan prihatin adalah kondisi psikis yang sepaket. Maksud saya seperti ini, keramahan yang harusnya berkembang positif, dalam perjalanannya malah bisa menyeberang jauh dan menghampiri bahkan melahirkan sisi negatif. Prosesnya kurang lebih begini, RAMAH - MEMBUKA DIRI - LAHIR EMPATI. Di empati inilah bagian "keprihatinan" muncul, berpangkal dari merasa berempati pada sesuatu dan berujung pada rasa prihatin terhadap sesuatu. Semacam efek domino, runtut, rapi, kontinu, pasti. 

Masa pemerintahan Gus Dur misalnya. Pemecatan Jusuf Kalla saat menjabat Menteri Perindustrian dari Kabinet Gus Dur tahun 2000 karena tuduhan terlibat KKN, padahal nota benenya JK adalah sosok bersih, pengusaha yang kuat secara finansial dan permodalan. Tindakan sepihak itu membangunkan rasa "prihatin" masyarakat bahkan tak sedikit yang bersimpati dengan beliau. Hasilnya nama JK semakin dikenal di masyarakat. Atau ketika masa pemerintahan Megawati. SBY (ketika menjabat sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong tahun 2004) menjadi sangat dikenal masyarakat dikarenakan isu pengucilan oleh Presiden Megawati dikarenakan tindakan SBY yang mengiklankan sejumlah program kerja departemennya. Catatan lengkapnya disini. Belum lagi sebelumnya pada masa pemerintahan Gus Dur, SBY pernah didesak mundur dari jabatan Menteri setelah terjadi ketegangan antara Gus Dur dan DPR (terkait kasus Buloggate dan Brunaigate). Lagi-lagi rasa "turut prihatin" dan simpati membumi. Sama-sama menjadi korban dan sepakat menjadi kendidat Capres dan Cawapres pada Pemilu 2004 ditambah sejumlah track record yang mengundang simpati masyarakat, sempurna mengukuhkan keduanya sebagai orang nomor satunya Indonesia. 

Saya tidak sedang mengatakan kalau beliau-beliau memanipulasi animo dan dukungan masyarakat dengan rasa prihatin. Hanya mengacukan beberapa contoh bahwa celah penyalahgunaan "rasa prihatin" itu ada. Dan bagi sejumlah tim sukses yang tahu itu dan punya mental sedikit "melenceng" (tipikal menghalalkan segala macam cara), itu bisa bisa jadi misil yang sangat potensial. Yah, "Prihatin" punya peluang besar untuk meningkatkan elektabilitas seseorang. Dan tanpa payung hukum yang kuat, sah-sah saja bila ada oknum yang menggenjot popularitas lewat jalur tersebut. Sangat disayangkan saat bentuk kearifan lokal kita yang dikenal sebagai bangsa yang ramah di muka dunia, disalahkan oknum tidak bertanggung jawab. Maka berhati-hatilah mengolah "rasa", mari sama-sama mengenali dunia dan manusia-manusianya. Harapan saya, seperti penulis kolom opini di harian Fajar pagi tadi :
Semoga keramahan dan kebaikan hati orang Indonesia tidak dieksploitasi kepada hal-hal yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Monday 17 December 2012

(Masih) Gie.

Ada yang bilang, kesukaan akan aus oleh waktu. Katanya waktu adalah variable paling egois yang bisa menghapus ingatan seseorang. Atau setidaknya menambah selapis demi lapis kisah dalam hidup yang membuat kisah lama melindap, terlupakan. Entah, tapi disini masih mengingatmu. Gie..

.......
bahkan dupa telah pensiun
tak sanggup membawamu kemari

lalu...
ke mandalawangi kami berlari
sebuah pesta..

....
(versi lengkapnya di postingan saya yang ini)

Mengenang Gie dengan kaos kiriman kawan. 

#just random

Saturday 8 December 2012

Damai yang sederhana


Sesekali mari duduk di beranda
Sembari menyesap teh hangat dan mengulum pisang goreng

Langit sedang interupsi
Mengirim hujan dalam musikalisasi yang puitis
Serupa babak-babak melankoli

Tik..tik..tik.. Ritme merintik.. 
Simphoni mengudara
menghadirkan satu..dua..tiga...figuran
Adalah sepasang anak kecil, bersenandung kecil menyapa kiriman langit
Mencecap jejak-jejak polos pada bumi yang basah
Sesekali bergandengan tangan, berputar-putar, penuh cita, 
berdendang merayakan kebebasan humus jati yang berbulan lalu dibelenggu kemarau

Disini..
Sesuatu sedang mengudara
Dalam sepersekian nano cahaya ia mengalun, lembut.., pasti.., ada...
Damai sedang merekah, mekar dalam figura yang sederhana. 
Sesederhana hujan yang menyapa bumi sore ini


Random note:
Sentul malam ini harusnya gegap gempita. Mupeng dah pelototi om Shahrukh Khan. Lumayan buat jejoget acha-achaa. Bila di luar sana hujan deras pertama pembuka musim penghujan tahun ini sedang berorasi penuh seluruh, disini, musik bollywood juga tak mau kalah. Meletup-letup emosional. Cukup manjur memanggil kerinduan jaman ngampus. Hari-hari berat, jauh dari keluarga serasa  menguap saat berdendang dan menari bersama kawan. Musik bollywood dan barak, kegilaan yang selalu berhasil membuat perbedaan itu lebur. 
Barak - Jaman ngampus
A day full of mad

Yah, kenangan tak pernah benar-benar pergi bukan? 

Sunday 2 December 2012

How Much You Writing Nowadays?

Apa kabar jejari motorik? 
Terlampau lama menari di tuts-tuts dari janin teknologi, masihkah ingat kawan lamamu dahulu? 

Iseng BW-an ke blog kawan baik saya dan dibuat melongo oleh prolog salah satu postingannya :
So, fellas. Kapan terakhir engkau menulis? Menulis yang sebenar-benarnya menulis. Detik ini, mendadak pikiran random saya memikirkan itu. Yah, makin kesini, saya sudah terlalu jarang menulis dengan tangan. Bak terhipnotis, teknologi membuat lupa pada pena dan kertas. Dulu jaman bocah, saya paling suka menulis catatan harian, sekalipun hanya sebaris atau dua baris per hari. Yah, seperti teman saya tadi. Mengenalnya sejak SMA, dengan kesukaan dan kegilaan yang sama, cukup membuat kami menjadi dua sejoli tak terpisahkan. Tak jarang, catatan harian saya diisi oleh dia, pun sebaliknya. Mendadak merindukan tulisan-tulisan jaman bocah dan tetek bengeknya. 

Dan... disinilah saya, bersama tumpukan-tumpukan diary usang penuh kenangan tak berperi 
#sesi lebay.

Banyak yah, dan ternyata kalau ditumpuk, sudah setinggi Kamus Inggris-Indonesia nya John M. Echols. Padahal belum termasuk buku yang disimpan kawan. Ckckkckck..


Eh, baru sadar, ternyata dari sekian banyak buku harian yang saya punya, tak ada satupun yang bentuknya unyu-unyu, hampir semua hitam, model agenda atau ukuran pocket. Dooong..dooong.. 

Ada yang selalu menarik saat membuka lembar demi lembar kenangan, buku harian misalnya. Tak jarang kita menemukan diri kita yang berbeda, lembar penuh tawa, sekelebat duka, sesi bijaksana, romantisme,  terkadang kekanak-kanakan, sangat mengejutkan. Saya jadi bertanya-tanya apa para adam juga melakukan hal yang sama dengan para hawa? Menuliskan keseharian sekaligus membukukan emosi yang mengharu biru. Pernah menanyakannya pada kawan adam tapi tak satupun yang mengaku melakukannya. Entah jujur apa tidak, tapi mereka lebih terbuka bila itu bersentuhan dengan karya sastra, puisi misalnya. #skip. 

Ah, saya sedang asyik-asyiknya menikmati kenangan. :)
Edisi sampul, just prolog
Hanya ada satu orang yang begitu berani menginvasi catatan-catatan harian saya, its Aqra, absolutely.
Random Site
Dan lagi-lagi bertemu dengan my madness that never end. Ofcourse Gie Holic. :D
Contekan gambar dari Buku "Gie", (naskah skenario film GIE), Riri Riza.
Saat sedang sok-sokan jago gambar (Gie Holic)
Asli, bedanya jauuuuuhhh (another Gie Holic)
Untuk part ini, saya harus mengucapkan big thank for Bang Yuan Wianda, yang membantu saya memiliki kaos Gie.


Another big thanks for buku Banalitas Kekerasan-nya ya bg.
Saya menikmati setiap lembar demi lembar catatan harian usang saya. Semacam wisata jiwa, saya menemukan sekian banyak kisah disana dan tentu saja, perjalanan pendewasaan terekam dengan sangat elegan. :) Menjelang dini hari, makin ngelantur. Sekalian saja membongkar kotak "pandora", surat sahabat pena, mobil-mobilan, bahkan absen kelas jaman SMP masih utuh. Saya bahkan tidak menyadarinya.



Sesuatu itu datang dan pergi tanpa dinyana, maka jagalah apa yang engkau punya, walaupun hanya benda kecil yang kadang dianggap remeh. 

Well, sepertinya saya harus menghentikan ini sebelum ngelantur lebih jauh lagi. :)