Perjalanan Mengunjungi Diri Sendiri

Ibukota selalu menawarkan fenomena sosial yang luar biasa. Macet, hanya salah satunya. Entah berapa banyak artikel kontra produktif tentang ibukota di linimassa yang kita lahap setiap harinya, bahkan syair-syair para pujangga merunut ibukota bukanlah formulasi yang baik untuk antibodi, justru ia adalah instrumen pembentuk stress yang luar biasa. Dulu, saya juga termasuk bagian yang mengamininya. Menelan mentah-mentah betapa ibukota hanyalah sebuah ruang penuh pikuk yang diselubungi hal-hal tidak manusiawi. Lucunya, entah sejak kapan, saya mulai mencari ruang lega di antara ketidaknyamanan, semacam belajar menikmatinya.


Ada yang selalu menyenangkan saat bepergian ke ibukota. Entah itu perjalanan beberapa hari ataupun  sekedar perjalanan singkat, seperti kali ini. Senin pagi tetiba kakak perempuan saya ngasih kabar, disuruh jemput ponakan yang kebetulan sudah masuk waktu libur sekolah. Buru-buru beresin rumah, masak seadanya buat bokap, dan well, ba'da dhuhur langsung cuss ke bandara. Lengkap dengan drama hampir ketinggalan pesawat. Tetiba saja, jadwal penerbangan dipercepat. Untungnya, no bagasi, cuman bawa ransel doang. Di eskalator masih sempat ngakak-ngakak sama ibu-ibu yang juga hampir ketinggalan pesawat. Entah kenapa, bertemu seseorang yang senasib seringkali menghadirkan semacam ruang lega, jeda diantara perasaan "kepepet" bin "terjepit". Iya kan.


Ini kali pertama saya bepergian tanpa bagasi dan ternyata sangat menyenangkan, semua jadi terasa lebih ringkas. Waktu terasa lebih luang memperhatikan sekitar. Hanya berselang 10 menit, sejak turun dari pesawat, saya sudah di depan bandara, menunggu damri menuju gambir. Sepertinya waktu sedang berpihak kepada saya, tidak terlalu lama, damri pun menepi. Saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda dan putrinya yang lucu. Dari percakapan kami, saya tahu kalau ia baru saja mengantar keluarganya yang hendak bepergian dengan putra pertamanya ke Padang. Putri kecilnya bahkan mengenalkan saya pada kakaknya, saat video call. Dunia masih indah kan? 


Di Stasiun Gambir lebih seru lagi. Begitu turun dari damri, saya mencari-cari tempat yang nyaman menunggu si kakak. Ada banyak orang disana, menunggu. Entah kawan, entah keluarga, entah dagangan laku, entah calon penumpang, yang sekedar bengong juga banyak, entah. Saya memutuskan berkeliling. Pertama, nongkrong tidak jelas dengan mamang bajaj depan monas, kebetulan lagi seorangan nunggu penumpang, dia heboh cerita aksi bela palestina, hari ahad kemarin. Namanya Pak jajang, semangat bener dia. Sayangnya ceritanya diinterupsi penumpang yang menawar jasanya. Saya memutuskan masuk ke stasiun. 



Di dalam stasiun, saya gemes sama seorang anak kecil, perempuan, dia main sendiri. Anaknya aktif, dan ribut keteteran mengejar bolanya. Refleks saja, saya mendekatinya, bantu mengejar bola, mencereweti dengan pertanyaan ini itu. Tetiba seorang perempuan setengah baya menarik anak itu dan membawanya pergi. Disisipi drama, ekspresi takut kepada saya, mungkin pikirnya saya punya niat jahat pada putrinya. Wajarlah, ini stasiun. Tempat yang sepertinya mewajibkan setiap orang untuk memasang "awas", setingkat lebih tinggi dari biasanya. Saya hanya bisa minta maaf dan juga berlalu dari sana.


Jakarta selalu sukses bikin kepala kemana-mana. Semakin intens memandang sekeliling, semakin banyak tatapan-tatapan yang bisa diterjemahkan. Ini menyenangkan. Saya terus berkeliling, ngarap beud bisa nemu yang dagang sempol ayam, tapi nope. Saya memutuskan bergabung dengan penumpang lain, di ruang tunggu. Lumayan, 40 menit sejak turun dari damri, berlalu begitu saja. 


Sebenarnya ada banyak hal-hal kecil yang mampu memanusiakan manusia, hanya saja, kita seringkali tidak punya cukup amunisi untuk melakukannya. Iyah, kita terbelenggu rutinitas, terhimpit deadline, tertekan ekonomi, dan lebih sering melupakan positif thinking. Sulit? Iya. Harus ada usaha besar untuk memberikan ruang positif itu sendiri. Ia tidak datang begitu saja, tetapi dipelajari, dan harus terus dipelajari, hingga bisa diinternalisasi. Pada level itu, semuanya hanya perkara memori otot, akan datang sendiri. Anteng beud ngomongnya yah? Hahahha. Saya percaya, ketika kita mengulang-ulang hal positif, terngiang-ngiang di kepala, akan lebih mudah diinisiasi bawah sadar, menjadi filtrasi yang mumpuni menjalani hidup. Saya mendadak teringat buku "Positif Feeling"-nya Erbe Sentanu. Katanya kira-kira begini :


Pikiran positif memang penting tetapi perasaan positif jauh lebih penting lagi. Sebab ia membuka jalur energi menuju Ilahi, semacam pintu berkah, dipuncaknya ada ikhlas. Sedang ikhlas adalah tiket untuk bisa berbahagia.


Orang lain tidak akan bisa menjanjikan bahagia, semua tergantung penerimaan dan per-maklum-an setiap individu. Dimulai dengan positif feeling.


NB :
Menengok blog, diantara tugas akhir kuliah yang numpuk.
Sempaaattt. Hahahah
#cariwaras

 

 


15 komentar:

  1. Semangat...
    Setuju banget, ikhlas adalah tiket untuk berbahagia. Aku jadi mau baca bukunya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyap, moodbooster banget die.
      Cucok bagi yg pengen upgrading her/him self.

      Delete
  2. cie cie.. yang lagi jalan-jalan ke jakarta, nie...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya jalan2, ke stasiun ajah. Tapi lumayanlah, masih sempat memanusiakan pikiran. Hahaha.

      Delete
  3. yeyeye, jalan-jalan, jalan-jalaaaannn ... ke Semarang, Long ,,, ntar gue traktir ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cius lo? Sekalian ma tiket pesawatnya, sak. Hahahha

      Delete
  4. saya suka quotenya, "perasaan positif lebih penting daripada pikiran positif"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo pengen versi lengkap untuk self improvement, buku erbe sentanu recomended beud tuw.

      Delete
  5. Nengok blog dengan tulisan yang inspiratif ini, Mbak, betapa penting mengunjungi diri sendiri itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tiap orang punya metode masing2 ya mas.

      Sayanya mungkin yg cak itu.

      Delete
  6. Replies
    1. Di seru2in mba/mas.
      Lgi belajar positif feeling. Hehe

      Delete
  7. It's all in the mind ya, Chi. Kalo nggak mikir aneh-aneh, nggak kebanyakan ketakutan ini-itu, emang insya Allah baik-baik aja, sih :)
    Berapa hari di Jakarta?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa jdi mba del. Berhub tempo hari mmg niatnya ngeliat "sisi lain". Duileee bahasanya. Hahahah.

      Main cuman 2 hri, kejepit final semester. Hiks. Padahal belum sempat main kemna2.

      Delete
  8. Dapat motivasi baru nih.
    Terima kasih buat artikelnya mbak.

    ReplyDelete

Kawan, silahkan tinggalkan jejak,,,

 

Friend List

Flickr Images

Blogger Perempuan