Dua Sisi Mata Uang

Tadi pagi tidak sengaja dapat pemandangan ini sepulang cek lokasi banjir Tontonan. Beberapa orang sedang panen bawang merah.

Lokasi Lingkungan Tontonan, Kelurahan Tanete, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.
Sejak Kecamatan Anggeraja menjadi sentra budidaya tanaman bawang merah, muncul kelompok-kelompok baru dalam masyarakat. Mereka menyebut diri "pang-karyawan" artinya semacam buruh tani insidental yang biasanya menjual tenaganya untuk membantu panen bawang ataupun menanam bawang. Kegiatannya disebut “mangkaryawan”. Biasanya mereka  bekerja secara tim dengan seorang ketua sebagai pusat komando yang berfungsi sebagai “agen”, penghubung antara pemilik lahan dan mangkaryawan. Pemilik lahan yang membutuhkan tenaga, biasanya akan menghubungi "si Ketua", entah itu untuk menanam bibit bawang, memanen bawang ataupun pengelolaan bawang siap jual.

Yang unik dari "mangkaryawan", kelompok ini tidak mewakili strata sosial tertentu. Dari kalangan ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pensiunan, semua membaur jadi satu. Motivasinya sederhana, bila di rumah hanya duduk-duduk saja tanpa menghasilkan, maka ikut "mang-karyawan" beda. Walaupun kegiatannya butuh tenaga, bisa dilakukan juga dengan santai, ada lahan berinteraksi dengan sesama (buibu kan kadang suka cerita ngalor-ngidul, sambil kerja, cerita dengan kawanpun jadi), bisa refreshing, melihat tempat-tempat baru (tak jarang tenaga mereka juga dibutuhkan dari desa/kelurahan/kecamatan sebelah). Di atas semua kesenangan ini, receh juga masuk kantong. Sistem yang digunakan biasanya borongan, kalau maksimal, bisa bergeser sampai 3 (tiga) tempat selama sehari. Dengan gaji yang berbeda disetiap tempat. Yang unik lagi, mereka bisa request menu makan sesukanya. Magnet yang cukup komplit.

Selain "pang-karyawan", ada lagi kelompok "pang-ojek". Kalau biasanya "pang-karyawan" ini didominasi ibu-ibu atau para perempuan, maka "pang-ojek" biasanya dari kalangan bapak-bapak atau kaum lelaki. Tugas mereka mengangkut dan memindahkan bawang hasil panen dari kebun  ke rumah si pemilik menggunakan motor trail. Bisa kebayang riuh-nya kalau rombongan motor trail "pang-ojek" ini, masuk pemukiman. 

Do you notice something?
Bila ditelisik lebih jauh, "mang-karyawan" sepertinya mulai menjadi gaya hidup yang baru. Ini "ruh"-nya semacam gotong-royong yang dikomersilkan, ketika bahu-membahu bernilai uang. Terkadang, mobilisasi penduduk yang luar biasa mampu melahirkan “kearifan lokal baru” di tengah-tengah masyarakat. Tak jarang pula, justru mengaburkan bahkan mematikan budaya lokal. Dalam masyarakat kompleks, akulturasi semacam ini sangat sulit direm. Sebab faktor ekonomi selalu menjadi konklusi akhir, kambing hitam yang klise.

Budidaya tanaman bawang merah telah terbukti meningkatkan ekonomi masyarakat. Fajar Online menyebutkan per 2016, penabung terbesar di BRI Enrekang adalah kalangan petani bawang merah, dengan digit mencapai Rp. 50 M. Keuntungan puluhan hingga ratusan juta sudah biasa dinikmati petani. Jalan menuju masyarakat agropolitan semakin terbuka lebar. Bawang juga yang membuat Kabupaten Enrekang diperhitungkan di kancah nasional. Data dari Kementrian Pertanian yang dilansir media online Rakyatku, untuk median maret - april 2017, Enrekang memiliki jumlah produksi tertinggi mencapai angka 400 ton, mengungguli Bima - NTB dan Brebes - Jateng yang produksinya menurun. 

Melihat ke belakang, sekitar tahun 2014, ketika harga bawang merah mencapai Rp. 80.000,-/ kg, dalam sebulan, hampir 20 orang kepala keluarga mengajukan permohonan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) ke kantor kelurahan. Dan semuanya rata-rata mengusulkan membangun rumah kayu dengan bahan dasar kayu ulin/ kayu besi. Luar biasa. Tak heran, masyarakat menjadikan budidaya tanaman bawang merah mata pencaharian utama, bahkan sidejob bagi para PNS.

Di satu sisi, budidaya bawang merah telah berhasil mengawal masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera. Tetapi di sisi lain, budidaya bawang merah juga melahirkan momok baru. Bawang merah yang menggiurkan, berdampak langsung ke lingkungan. Pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, mengurangi luasan daerah resapan air secara signifikan. Penggundulan mulai terlihat dimana-mana, banjir dan longsor mengintai setiap kali hujan datang, penggunaan pestisida pun tak jarang memakan korban, kasus sengketa tanah menjamur.

Sosial kultural masyarakat pun mulai berubah. Besarnya keuntungan budidaya tanaman bawang merah, memunculkan kelompok-kelompok sosialita, juragan-juragan bawang. Dengan mudahnya anak-anak diberikan fasilitas, mulai smartphone, sepeda motor dan bahkan mobil. Tanpa dibatasi, tanpa pembimbingan dari orang tua. Mulai marak kasus sosial, tawuran antar kelompok, pernikahan dini, isu perselingkuhan. Kalau dulu, naik pesawat adalah sesuatu yang mahal dan jarang, bawang mengubah masyarakat dengan mudah melakukan apapun. Pelesir menjadi sebuah kewajiban, destinasi domestik, tak jarang luar negeri. Eksistensi semakin wajib dan dicari, berlomba-lomba mendaftar untuk muncul di tv dalam acara "Mama Dedeh" ataupun "Islam itu Indah". Update sosial media menjadi sunnah muakkad. Ironi.

Alhamdulillahnya, diatas semua kompleksitas pergeseran sosio-kultural tersebut, ada juga yang menggembirakan. Jumlah jemaah umrah di Kecamatan Anggeraja selama 2 (dua) tahun terakhir meningkat. April kemarin, sekitar 300-an orang jamaah berangkat ke Makkah untuk Umrah, melalui agen masing-masing. Untuk ukuran kecamatan kecil, ini adalah angka yang fantastik. Semoga menjamurnya travel umrah, mampu menguatkan pondasi religius yang telah lebih dahulu menjadi bagian masyarakat ini.

NB :
Hanamasa.
Malam minggu se-random ini. 
Sehat, buk? Hahhaha.

19 komentar:

  1. Seperti dua sisi mata uang.
    Tapi memang seperti itulah kehidupan dan ekonomi. Sulit untuk dielakkan.

    ReplyDelete
  2. Semuannya memang harus dilandasi dengan fondasi agama yang kuat.. Nice posting, Aci..

    ReplyDelete
    Replies
    1. dua sisi, 1 harm, 1 heals.
      dinamika yeek'

      Delete
  3. yah we call that manusiawi......Allah SWT berfirman:

    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
    "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
    (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)

    kerusakan menghasilkan materi lalu materi dipakai beribadah.....dunia ini bu panggung sandiwara

    #Allah lah yang mengetahui segala nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dinamika masyarakat. Yang lebih sering menemukan alurnya sendiri.

      Delete
    2. Saya sendiri bingung membaca dalil tersebut, bukan merusak tapi memanfaatkan lahan demi penghidupan. Setiap budaya atau perubahan hidup pasti ada efek negatifnya juga bagi alam. Tugas kita hanya merawat dan menjaganya.

      Delete
    3. Tanam padi, tidak melulu panennya padi juga yah mas. Kadang banyakan rumput. Sami mawon lah klo bicara usaha masyarakat cari fulus buat makan.

      Delete
  4. bagus kalau bawang meningkatkan standar ekonomi masyarakat, kalau implikasi sosial yang mengikutinya emang gak bisa terelakan. Tapi soal penanggulangan banjir, pestisida, kerusakan tanah, ketidakseimbangan ekosistem harusnya masih bisa dicari orang atau lembaga yang ngerti gitu2 untuk kasih arahan. Demi kepentingan keberlanjutan mereka juga kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat. Kalaupun belum ada lembaga yg capable dan kompetibel, seharusnya ada pembatasan yg diberikan pemda. Secara litigasi mmg tanah kebun adalah milik pribadi, tetapi tetap implikasi negatifnya mengincar seluruh masyarakat. Pemda harusnya punya perda ttg ini, guna membatasi dan mengatur.

      Delete
  5. Pemandangannya sangat Indah ya Mba... Apa bawang merah hanya cocok di daerah dingin Mba ? bawang memang sangat bagus laris dipasar karena kebutuhaan dapur,sehingga petani bawang sangat menjanjikan,saya lihat penabung terbesar di BRI daerahnya adalah kalangan petani bawang merah,luar biasa ya Mba. saya ijin follow blognya ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sok atuh, silahkan klo pengen di follow blognya. :)

      Klo soal spesifikasi lahan, komoditas dan tetek bengejnya, kurang ngerti jga saia. Hehehhe. Tapi klo discuss soal implikasinya boleh lah.

      Salam kenal mba apa bro nih?

      Delete
  6. Mumpung saya lagi jadi pengangguran, ingin kerja disana. Kira-kira tenaga saya laku kagak ya ? ya bolehlah jadi tukang ojek.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asal khatam bawa motor di jalan beresiko, pasti laku dan "kepake" koq, mas.

      Delete
  7. Ini tulisan malam minggu �� Teh luar biasaaa
    Bawang merah harganya skrg sperapat 8 ribu.. siap2 naek nih mau lebaran �� Meskipun seberapa naiknya harga, kita tetap dimampukan yaa...amin

    ReplyDelete
  8. Selamat lebaran acie, maaf lahir batin :)

    ReplyDelete
  9. Minal aidin ya. Memang saat ini aku juga heran dengan budaya tempo duloe yang semakin terkikis dan hilang bak ditelan bumi. Semua itu tidak terlepas akan paradigma uang adlah yang agung hingga semua budaya dikomersilkan. Miris dg generasi yang terhipnotis dg propoganda media saat ini. Media pun secara terang-terangan sprti itu dg teknik framingnya.

    ReplyDelete

Kawan, silahkan tinggalkan jejak,,,

 

Friend List

Flickr Images

Blogger Perempuan