Langit makassar sepertinya berdamai hari ini. Cukup leluasa melipir ke RSUD Wahidin menebus resep obat bapak sebelum balik rumah. Masih sempat mendengarkan bayolan Pak Edi, si satpam Rumah Sakit paling berdedikasi. Menunggu antrian obat selalu menyenangkan saat bertukar cerita dengan beliau. Tidak begitu lama, si mbak apotekerpun memberikan resep obat. Seharusnya ada satu jenis obat yang tidak lengkap, harus dibeli di luar. Saya sudah membayangkan melipir ke apotik di Toddopuli nun jauh disana. Tetiba si mbak suruh menunggu, menghilang ke belakang dan kembali dengan beberapa papan obat di tangannya. Katanya itu stok pribadi, harusnya untuk keluarganya tapi boleh untuk bapak saya. Alhamdulillah, rejeki si bapak.
Sempat juga bertukar kabar dengan salah seorang kawan, ngalor-ngidul sejenak, sampai tetiba ia melontarkan sebuah pertanyaan, kira-kira seperti ini :
"Jadi kamu nyaman tidak dengan pekerjaan sekarang, berada di lingkaran birokrasi yang sarat dipolitisasi. Apa tidak ada keinginan buat ngajar?"
Saya menjawab sedikit retoris.
"Iya yah, kalau dipikir-pikir, saya juga bingung kenapa dulu mengambil jurusan politik pemerintahan, padahal politik sarat drama, selalu ada yang harus diberikan, dikorbankan untuk mendapatkan dan memiliki. Ada sesi tawar - menawar. Wajib. Tapi entah kenapa di dalam lingkaran tersebut, penasaran mekar dan justru ingin tahu lebih banyak. Mungkin karena kepala saya juga banyak drama. Hahahhah."
Dalam persfektif subjektif saya, birokrasi dan politisasi adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Sebab antara birokrat dan politisi, meski bukan lahir dari rahim yang sama, mereka akan tetap terus dipertemukan sejak mahzhab "Trias Politika" menguasai dunia. (Bahasa apa ini? :P)
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa ada keinginan mengajar? Wow, ini benar-benar pertanyaan luar biasa untuk seseorang di level amatir unyuk perkara mengajar. Jaman SMA sempat ikut program tutor sebaya untuk pelajaran fisika selama 1 semester, tapi sepertinya itu bukan parameter yang tepat. Feelnya memang menyenangkan, terlebih saat proses transfer ilmu dan ada umpan balik dari kawan, tukar pikiran. Kalau jujur, saya pribadi sepertinya memang ada keinginan kesana tapi bukan sekarang.
Jauh ke belakang, sejak dulu selalu beranggapan menjadi bagian birokrasi memang butuh tanggung jawab ektra. Berbeda dengan para akademisi di luar sana yang mendedikasikan diri sebagai pengajar, dalam skop apapun, guru Tk, SD, SMP, SMA, dosen, guru privat, dll. Sepertinya tanggung jawabnya lebih mudah dikontrol (sama sekali bukan berarti saya men-justifikasi atau memandang sebelah mata dengan profesi tersebut). Lebih mudah yang saya maksudkan adalah begitu selesai mengajar sesuai silabus dan sebagainya maka tanggung jawabpun selesai. Konstelasi tupoksi dan bahan ajar mereka jelas. Begitu setiap poin sudah dilaksanakan maka checklist pun menyusul. Lunas.
Jauh ke belakang, sejak dulu selalu beranggapan menjadi bagian birokrasi memang butuh tanggung jawab ektra. Berbeda dengan para akademisi di luar sana yang mendedikasikan diri sebagai pengajar, dalam skop apapun, guru Tk, SD, SMP, SMA, dosen, guru privat, dll. Sepertinya tanggung jawabnya lebih mudah dikontrol (sama sekali bukan berarti saya men-justifikasi atau memandang sebelah mata dengan profesi tersebut). Lebih mudah yang saya maksudkan adalah begitu selesai mengajar sesuai silabus dan sebagainya maka tanggung jawabpun selesai. Konstelasi tupoksi dan bahan ajar mereka jelas. Begitu setiap poin sudah dilaksanakan maka checklist pun menyusul. Lunas.
Jauh berbeda dengan birokrasi. Birokrasi bukan perkara hari ini ia tidak terlihat di depan meja, berarti ia sudah selesai. Bukan. Ada tanggung jawab laten yang terus berjalan. Itu titik penting kenapa setiap pemberian pelayanan, pengambilan keputusan harus mengacu pada prosedur. Butuh hati-hati dan ketelitian. Memberikan "jeda" antara prosedur dan pelaksanaan, berarti sengaja melahirkan peluang "memenjarakan diri sendiri". Masalah pertanahan misalnya. Ketika satu prosedur saja terlewatkan atau "membijaksanai" prosedur, itu bisa fatal. Mungkin saat itu akan aman-aman saja, tapi di depan sana, peluang untuk mengemuka dan menjadi borok akan sangat ada. Tanggung jawab yang tetap "hidup" itu punya potensi "disturbing" yang sangat besar. Mungkin poin ini yang tanpa sadar menjadi semacam hipnosis yang kemudian menumbuhkan keinginan mencicipi ranah ilmu yang berbeda tadi. Sekalipun saya hanya berani mengatakan "sepertinya ada".
Pernyataan itu kemudian diinterupsi kawan, seharusnya merencanakan hidup tidak boleh seperti itu, perkara hidup harus direncanakan, jelas dan optimis.
Saya terdiam. Mungkin benar kata kawan, hanya saja untuk saat ini saya mencoba menjalani konsekuensi dari keputusan yang sudah saya dipilih. Siap - tidak siap, harus siap. Terlepas dari pembenaran atau bukan, saya mencoba menjalani dan mencintai apa yang sudah saya pilih. Saya memahami hidup sebagai perkara prioritas, melunaskan yang satu untuk memberikan jalan untuk prioritas/ target berikutnya. Ini perkara durasi bukan? Keinginan mengajar memang ada, tapi untuk bisa mengajar juga bukan perkara asal jadi, ada seninya, butuh pembelajaran, bukan berarti karena ia menyenangkan maka harus dimiliki detik ini juga.
Mari menunggu siap, ketika konten ilmu sudah mumpuni. Toh, akan beda esensi seorang pengajar ketika ia sudah pernah menjalani, melakukan dan menjadi bagian utuh dari sesuatu yang nantinya adalah bagian dari bahan ajarnya. Ia akan lebih kaya, sebab sudah khatam realitas empiriknya. Tinggal dikroscek dengan pendekatan konsep teoritisnya. Lagi-lagi terlepas dari pembenaran atau bukan, untuk saat ini mari memperbanyak pengalaman agar ilmu lebih luas. Menangguhkan menekan tombol "enter", sampai semua siap. Setelah melunaskan ini, siapa tahu besok lusa bisa mengkloning retorika dan paradigma berfikir Prof Juanda, Prof Rasyid dan Prof Alwi. Maruk.
NB:
Assalamualaikum 2018.
One chapter sold, the new one waiting to be writen.
One chapter sold, the new one waiting to be writen.
Sedang memulangkan hiatus. Saban hari tersesat di salah satu blog, saya tertarik dengan tulisannya tentang happy blogging, menjadikan blog sebagai dirinya. Bertutur tanpa tendensi apapun, sekedar melunaskan pikiran yang terjebak di kepala. Dan...yap... saya melakukannya sekarang atau mungkin selalu?
saya kalau jumat itu seneng binggit
ReplyDeletekarena besok libur
#ehhh
TGIF banget yah.
DeleteThanks God, its friday.
friday come
Deleteon fire mu di, selalu.. haha :D
ReplyDeleteHahahha. Sudah dibilang di depan : Fix, ini lebay.
DeleteNda ada ide menulis kodong, jdi bgitu dpat momen diskusi itu sjami di share di blog. Irika sma travel blogger seperti qt sebenarnya. Hahahaha
Saya jadi ingat teman yang suka bilang "siap", termasuk dalam WA-nya. Ternyata betul, ia selalu optimis dalam menjalani hidupnya.
ReplyDeletelama banget gak buka2 blog, masih kenal diriku kah ?? hihihi
ReplyDelete