Saya pikir, saya harus menuliskan sesuatu. Layar tipi benar-benar mengganggu ketenangan saya. Sudah H+2 dan masih saja berita-berita demonstrasi berseliweran tanpa permisi di kotak warna-warni itu. Benar-benar parah. Euforia demokrasi benar-benar payah, apa melulu harus demonstrasi?? Kalau sekedar unjuk rasa, oke tak masalah. Tapi kalau unjuk anarki, ini sudah masuk kamar kriminalitas dungz.
Rabu, 20 Oktober 2010 wilayah Indonesia benar-benar hari yang sibuk. Informasi yang saya dapat menyebutkan Kepolisian Daerah Metro Jaya mengerahkan 2/3 kekuatannya untuk mengamankan aksi demo sejumlah elemen masyarakat 20 Oktober 2010 lalu dengan pemusatan kekuatan pada titik-titik utama seperti Istana Kepresidenan, gedung parlemen, Bundaran HI juga Tugu Tani. Itu berarti sekitar 19 ribu anggota kepolisian menguasai jalan-jalan protokol Jakarta, pada Rabu kemarin. Ckckkckckckc.. Ruuaaaarrr biasaaaa…. Lengkap dengan paket arahan Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Iskandar Hasan di Mabes Polri tentang pemberlakuan Protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Aksi Anarki.
Sayangnya pelaksanaan Protab tidak mulus. Setahu saya Protap punya tahapan, sekedar menghimbau pengunjuk rasa agar tidak anarkis dengan pengeras suara, lalu melumpuhkan dengan menembak ke arah badan ke bawah. Tapi lucunya, yang terjadi kemarin malah seperti ricuh. Kesannya polisi begitu terdesak, sangat jelas kesan panik dan jauh dari kepala dingin. Dan walhasil aksi unjuk rasa memperingati satu tahun pemerintahan SBY-Boediono yang digelar oleh mahasiswa di Jalan Diponegoro Jakarta pusat berakhir dengan bentrokan. Petugas yang terlibat bentrok dengan mahasiswa melepaskan tembakan yang mengakibatkan seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), Farel Restu menderita luka tembak dibagian kakinya yang memaksanya dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Nah, lo. Dimana sosok pengayom itu sekarang?? Ada masalah, tentu harus ada alasan penjawab bukan. Kapolda menjelaskan, dalam mengamankan unjuk rasa di Jalan Diponegoro, petugas kepolisian tidak mengunakan Protap 1/X/2010, melainkan menggunakan Peraturan Kapolri (Perkap) No 16 Tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa. Apapun itu, saya tetap tidak suka ada korban.
Saya tergelitik memikirkan apa kira-kira yang sebenarnya dipikirkan mahasiswa saat menjalankan aksinya itu. Benar-benar murni idealisme keberpihakan pada rakyat atau hanya sekedar tendensi, produk egoisme insidental yang lepas kendali? Apa hubungannya kebebasan berbicara atau berpendapat dengan aksi merusakkan kendaraan berplat merah. Toh, pengadaan barang dinas juga dari kocek Negara, jelasnya ya.. rakyat. Merusak berarti membuka peluang lagi untuk pengadaan baru. Lah, dimana rasional itu sekarang??? Parah betul!! (Bukannya men-judge mahasiswa, toh saya juga pernah mencicipi bangku kuliah. Bahkan cukup bangga menjadi bagian perekrutan senat di tahun pertama kuliah, Kesempatan yang katanya jarang terjadi untuk seorang mahasiswi apalagi dengan status mahasiswa baru. Cukup menghargai mengingat tidak ada tendensi gender saat itu).
Sudah lama saya tidak bertemu dengan mahasiswa berlabel “agent of change”. Entah mereka telah habis ditelan jaman atau apa. Sangat jauh dari idealisme mahasiswa angkatan 66 yang padu menggulingkan Soekarno, atau aktifis angkatan 80-an yang terjun langsung dalam masalah kerakyatan (praksis) saat Soeharto sedang kuat-kuatnya. Benar, seperti itulah mahasiswa ideal yang saya kenal. Melumat buku-buku dan catatan-catatan Soe Hok Gie, sedikit banyaknya mempengaruhi pandangan saya akan idealisme mahasiswa. Jiwa-jiwa dengan molotov semangat yang benar-benar objektif dan meneropong setiap hal dengan bijak. Intelektual yang kritis. Bedanya saat ini, demonstrasi hanya sekedar ajang unjuk gigi. Sekedar formalitas, lebih banyak yang bergerak sebagai penggembira, hanya pelengkap secara kuantitas, tanpa tujuan. Sepertinya Republik ini benar-benar butuh reinkarnasi jiwa-jiwa pembaharu, bukan bercocok tanam spesies “penggembira” seperti saat ini.
Tiba-tiba saya teringat puisi Gie..
“Tentang Kemerdekaan”
Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang,
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
…
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembesan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, alam desasnya,dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manuasia terbebas
Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang,
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
…
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembesan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, alam desasnya,dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manuasia terbebas
(Saya yakin, kaupun akan sepakat)
setelah kemarin ikut pesantren dan mengenal lebih dalam tentang arti sebuah pembebasan.
ReplyDeletesepertinya sekrang saya lebih mengerti tentang gie.
oh yah.saya pindah jurusan loh :D
dari sistem informasi ke hukum.
sekarang mata dan hati saya lebih terbuka tentang arti sebuah kemerdekaan.
semua berkat gie.idealismenya sedikit demi sedikit mulai menggerogoti pikiran ini.
wow, kereenn.. jdi dah anak hukum dungz skg.
ReplyDeletebagus dah, besok2 sya boleh tanya2 klo ada bahsan hukum yg kagak ngerti dah. :D
istiqomah ma idealismenya yah. :D