Pagi tadi tidak sengaja saya melihat TV, “Apa Kabar Indonesia Pagi”-TVOne. Hm, makin banyak saja orang dipasung di negeri ini, katanya mereka gila. Sungguh terlalu, ckckkck. Entah alasan pembenar atau memang hanya itu satu-satunya penyelesaian . Hm, entahlah. Bukan itu yang ingin saya bicarakan. Saya tertarik pada defenisi gila.
Sebenarnya gila itu apa? Saya lalu mendatangi mbah google, dan mengobrak- abrik brankas file-nya. Masuk kamar om Wiki, saya menemukan defenisi gila sebagai “Gila (Inggris: insanity atau madness), adalah istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah. Secara historis, konsep ini telah digunakan dalam berbagai cara. Di lingkungan dunia medis lebih sering digunakan istilah gangguan jiwa”. Hampir sama dengan kata Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang ini, bahwa gila adalah sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal), tidak biasa, terlanda perasaan sangat suka (gemar, asik, cinta, kasih sayang).
Masuk ruang psikiatri, saya menemukan hal yang lain. Bunyinya begini “Menurut Psikiatri, sebenarnya istilah gila itu tidak ada. Kata gila itu hanya pemberian nama oleh masyarakat. Padahal gila itu sendiri adalah suatu tahapan atau tingkatan stress yang sudah akut. Atau seseorang yang sudah mengalami depresi berat, sehingga ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang berupa khayalan atau impian”. Nah loh, berarti semua berpotensi gila dungz. Secara, setiap manusia punya bakat stres masing-masing. Dah dibagi-bagi sama Pencipta waktu ditiupkan roh di alam rahim. Tantangannya sekarang bagaimana mengolah potensi or bakat itu agar tidak akut alias parah.
Ternyata banyak juga yang membahas “gila”, bukan Cuma di rumah mbah google, bahkan Seorang Psikiater yang pernah mengalami kegilaan menuliskan pengalaman hidupnya itu dalam buku Memoar Seorang Psikiater - Aku Sadar Diriku Gila. Adalah Dr. Kay Redfield Jamison, seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University pernah mengalami sendiri kegilaan yang dalam dunia psikiatri disebut sebagai penyakit manis-depresi. Nah loh, orang gila jadi professor? Kalau professor jadi gila mah sering dengar tapi justru orang gila jadi professor, ckckckckkk. Sebenarnya bukan begitu tapi selama menempuh kariernya dalam dunia kedokteran akademis ia pernah mengalami depresi parah yang juga diderita banyak pasiennya. Hebat kan?! Yang tertarik boleh cari bukunya.
Back to focus, secara umum pandangan tentang gila disebutkan sebagai "Melakukan sesuatu di luar kewajaran, di luar apa yang menjadi kebiasaan, norma, atau aturan orang kebanyakan". Muncul masalah, tidak semua aturan, norma dan kebiasaan yang dianggap benar oleh orang kebanyakan atau istilahnya “yang mayoritas itu yang benar”. Makanya saya tertarik menulis ini.
Di luar sana orang-orang terlalu pandai mengklasifikasikan kondisi mental dengan mengatakan gila,. Sama dengan saya ketika kecil dulu. Tapi makin kesini, saya sadar bahwa ruang nalar saya waktu itu masih terlalu hijau. Saya menemukan, sebuah kondisi kegilaan diklasifikasikan sebagai gila sebenarnya terjadi karena pikiran kita tidak mampu menjangkau pikiran orang lain yang dianggap gila, pikiran (orang gila) terhadap sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan. Kondisi berbeda dengan kebanyakan ini memunculkan dua hal. Pertama, karena merasa benar alias normal alias termasuk orang kebanyakan dan menganggap orang gila karena hal sepele tidak tahu. Kondisi kedua, karena merasa benar dan tidak mau dikatakan bodoh, dengan kecerdasan di bawah, ia kemudian men-judge orang lain gila.
Apa sebenarnya gila? Saya akan membicarai gila sebagai sebuah sistem nilai dari sudut pandang pribadi, lebih berat pada bahasan konsep kedua. Menurut saya, gila jenis ini bukan keadaan tidak waras yang dialami seseorang. Justru seseorang itu (sebut saja si A) berada di taraf kesadaran paling tinggi yang dimilikinya. Ia mampu mengkaji hal kecil menjadi hal yang teramat bermakna. Lalu saat si A mulai berfikir, mengesampingkan semua indera yang dimiliki, benar-benar mencurahkan segenap kemampuannya untuk berfikir hingga batas terjauh yang dimiliki. Orang lain malah beranggapan bahwa A sudah gila. Padahal A hanya sedang bermain dengan kepuasan yang ia dapatkan dari pengkajian dan penghubungan hal yang satu dengan yang lain.
Dari sudut pandangnya, dunia tetap sama tetapi hanya mencari esensi kehidupan yang sebenarnya dalam kemampuan nalarnya, mencoba menelanjangi nurani dan memperkosa logika dalam rasionya. Tidak ada yang salah.
Si A hanya terlepas dari dunia nyata (dunia kita) sejenak dan bermain utuh dalam utophianya (alam sadarnya, sengaja terasing dari dunia nyata), menyelam dalam alam fikirnya, bercengkrama dengan partikel-partikel keterasingan yang dicoba tuk dijawab. Dan secara bersamaan dunia mevonis “inilah orang gila itu” yang bicara sembrawut, berkomentar amburadul padahal dunia hanya tak mampu mnegikuti alur pikiran yang dibuat “orang gila” tersebut. Adalah sia-sia dalam anggapan dunia jika mengikuti cara dan pola pikirnya.
Seperti ketika sedang menulis, anggap saja saya dan mungkin beberapa dari anda yang juga mengalami hal tersebut, yang dianggap gila saat sedang dalam konsentrasi taraf tinggi (menurut saya). Terserah, ingin mendefenisikan tulisan ini sebagai opini atau pembelaan diri. Tapi saya merasa, ketika memutuskan untuk mulai menulis dan koherensi ide dan kecepatan jemari sudah padu, maka secara cepat dunia luar akan mengabur. Dunia ide menjadi satu-satunya hal yang menarik, dan memang ada kepuasan terbesar saat benang kusut terurai sempurna. Apa saat kita merasakan kepuasan terbesar, orang lain akan selalu bisa memahami perasaan itu? Tidak, hanya segelintir orang yang mengerti dan memahami, sisanya hanya memaklumi. Dan muncullah celah vonis bahwa “DIA GILA!!”
Biasanya akan muncul celetukan seperti ini “Biarkan saja, orang gila sedang berfilsafat!”. Whats?? Filsafat??!! Sepertinya harus diluruskan. Setahu saya tidak semua berfikir adalah filsafat. Kategori filsafat berada di berfikir tingkat tinggi, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bijaksana. Saya?? Sama sekali tidak sedang berfikir tingkat tinggi, juga bukan alias tidak sama dengan orang yang bijaksana. Bermain dengan dunia ide hanya bagian berfikir taraf bawah yang mencoba menelaah, mendatangi palung pikiran paling dalam semampu dangkalnya akal yang dimiliki.
Celah vonis “DIA GILA!!” hampir akan selalu muncul karena kepuasan itu parsial. Hanya dirasai oleh mereka yang mampu memahaminya. Sedang bagi sisanya, fase itu sulit dijangkau. Keterbatasan nalar menuntut mereka untuk mengatakan bahwa mereka normal dan si pemikirlah yang gila. Menurut saya, seharusnya yang gila adalah mereka yang sedang berfikir tapi tidak dapat keluar dari lingkaran pikirannya. Ia terpasung dan stagnan di tempat yang itu - itu juga. Berpikir, ter-isolir dari dunia nyata dan asyik bercengkrama dengan ide pribadi lalu tidak menemukan jalan pulang, menemukan pangkal tetapi tidak bisa mencapai ujungnya. Sederhananya, ia terkurung. Berada dalam sebuah ruangan lalu terkunci. Untuk keluar ia butuh kunci. Kesimpulannya untuk berjaga-jaga agar tidak sampai terkurung setiap dari kita harus memiliki kunci sendiri. Jadi ia bisa keluar kapanpun ia mau. Dan saya punya kunci itu, jadi bisa dikatakan dengan jelas bahwa “Saya Tidak Gila”.
Kondisi terparah adalah ketika seseorang terkurung, ada kunci tetapi dia berada pada ruang dengan pintu yang memang hanya bisa terbuka dari luar maka tamat sudah. Ini kegilaan berkepanjangan. Kecuali ada orang lain yang tahu letak ruangan itu dan memiliki kunci serep untuk membukanya. Dan saya yakin, bukan termasuk golongan ini. Apa setelah membaca ini anda masih jenis manusia peng-vonis “DIA GILA!!”? Hm, jika iya berarti anda sudah gila. Albert Einstein mengatakannya dengan jelas bahwa “gila adalah melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan hasil yang berbeda”. Karenanya mulailah melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain, kawan. So, termasuk dimanakah anda??^^
Ternyata banyak juga yang membahas “gila”, bukan Cuma di rumah mbah google, bahkan Seorang Psikiater yang pernah mengalami kegilaan menuliskan pengalaman hidupnya itu dalam buku Memoar Seorang Psikiater - Aku Sadar Diriku Gila. Adalah Dr. Kay Redfield Jamison, seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University pernah mengalami sendiri kegilaan yang dalam dunia psikiatri disebut sebagai penyakit manis-depresi. Nah loh, orang gila jadi professor? Kalau professor jadi gila mah sering dengar tapi justru orang gila jadi professor, ckckckckkk. Sebenarnya bukan begitu tapi selama menempuh kariernya dalam dunia kedokteran akademis ia pernah mengalami depresi parah yang juga diderita banyak pasiennya. Hebat kan?! Yang tertarik boleh cari bukunya.
Back to focus, secara umum pandangan tentang gila disebutkan sebagai "Melakukan sesuatu di luar kewajaran, di luar apa yang menjadi kebiasaan, norma, atau aturan orang kebanyakan". Muncul masalah, tidak semua aturan, norma dan kebiasaan yang dianggap benar oleh orang kebanyakan atau istilahnya “yang mayoritas itu yang benar”. Makanya saya tertarik menulis ini.
Di luar sana orang-orang terlalu pandai mengklasifikasikan kondisi mental dengan mengatakan gila,. Sama dengan saya ketika kecil dulu. Tapi makin kesini, saya sadar bahwa ruang nalar saya waktu itu masih terlalu hijau. Saya menemukan, sebuah kondisi kegilaan diklasifikasikan sebagai gila sebenarnya terjadi karena pikiran kita tidak mampu menjangkau pikiran orang lain yang dianggap gila, pikiran (orang gila) terhadap sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan. Kondisi berbeda dengan kebanyakan ini memunculkan dua hal. Pertama, karena merasa benar alias normal alias termasuk orang kebanyakan dan menganggap orang gila karena hal sepele tidak tahu. Kondisi kedua, karena merasa benar dan tidak mau dikatakan bodoh, dengan kecerdasan di bawah, ia kemudian men-judge orang lain gila.
Apa sebenarnya gila? Saya akan membicarai gila sebagai sebuah sistem nilai dari sudut pandang pribadi, lebih berat pada bahasan konsep kedua. Menurut saya, gila jenis ini bukan keadaan tidak waras yang dialami seseorang. Justru seseorang itu (sebut saja si A) berada di taraf kesadaran paling tinggi yang dimilikinya. Ia mampu mengkaji hal kecil menjadi hal yang teramat bermakna. Lalu saat si A mulai berfikir, mengesampingkan semua indera yang dimiliki, benar-benar mencurahkan segenap kemampuannya untuk berfikir hingga batas terjauh yang dimiliki. Orang lain malah beranggapan bahwa A sudah gila. Padahal A hanya sedang bermain dengan kepuasan yang ia dapatkan dari pengkajian dan penghubungan hal yang satu dengan yang lain.
Dari sudut pandangnya, dunia tetap sama tetapi hanya mencari esensi kehidupan yang sebenarnya dalam kemampuan nalarnya, mencoba menelanjangi nurani dan memperkosa logika dalam rasionya. Tidak ada yang salah.
Si A hanya terlepas dari dunia nyata (dunia kita) sejenak dan bermain utuh dalam utophianya (alam sadarnya, sengaja terasing dari dunia nyata), menyelam dalam alam fikirnya, bercengkrama dengan partikel-partikel keterasingan yang dicoba tuk dijawab. Dan secara bersamaan dunia mevonis “inilah orang gila itu” yang bicara sembrawut, berkomentar amburadul padahal dunia hanya tak mampu mnegikuti alur pikiran yang dibuat “orang gila” tersebut. Adalah sia-sia dalam anggapan dunia jika mengikuti cara dan pola pikirnya.
Seperti ketika sedang menulis, anggap saja saya dan mungkin beberapa dari anda yang juga mengalami hal tersebut, yang dianggap gila saat sedang dalam konsentrasi taraf tinggi (menurut saya). Terserah, ingin mendefenisikan tulisan ini sebagai opini atau pembelaan diri. Tapi saya merasa, ketika memutuskan untuk mulai menulis dan koherensi ide dan kecepatan jemari sudah padu, maka secara cepat dunia luar akan mengabur. Dunia ide menjadi satu-satunya hal yang menarik, dan memang ada kepuasan terbesar saat benang kusut terurai sempurna. Apa saat kita merasakan kepuasan terbesar, orang lain akan selalu bisa memahami perasaan itu? Tidak, hanya segelintir orang yang mengerti dan memahami, sisanya hanya memaklumi. Dan muncullah celah vonis bahwa “DIA GILA!!”
Biasanya akan muncul celetukan seperti ini “Biarkan saja, orang gila sedang berfilsafat!”. Whats?? Filsafat??!! Sepertinya harus diluruskan. Setahu saya tidak semua berfikir adalah filsafat. Kategori filsafat berada di berfikir tingkat tinggi, yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bijaksana. Saya?? Sama sekali tidak sedang berfikir tingkat tinggi, juga bukan alias tidak sama dengan orang yang bijaksana. Bermain dengan dunia ide hanya bagian berfikir taraf bawah yang mencoba menelaah, mendatangi palung pikiran paling dalam semampu dangkalnya akal yang dimiliki.
Celah vonis “DIA GILA!!” hampir akan selalu muncul karena kepuasan itu parsial. Hanya dirasai oleh mereka yang mampu memahaminya. Sedang bagi sisanya, fase itu sulit dijangkau. Keterbatasan nalar menuntut mereka untuk mengatakan bahwa mereka normal dan si pemikirlah yang gila. Menurut saya, seharusnya yang gila adalah mereka yang sedang berfikir tapi tidak dapat keluar dari lingkaran pikirannya. Ia terpasung dan stagnan di tempat yang itu - itu juga. Berpikir, ter-isolir dari dunia nyata dan asyik bercengkrama dengan ide pribadi lalu tidak menemukan jalan pulang, menemukan pangkal tetapi tidak bisa mencapai ujungnya. Sederhananya, ia terkurung. Berada dalam sebuah ruangan lalu terkunci. Untuk keluar ia butuh kunci. Kesimpulannya untuk berjaga-jaga agar tidak sampai terkurung setiap dari kita harus memiliki kunci sendiri. Jadi ia bisa keluar kapanpun ia mau. Dan saya punya kunci itu, jadi bisa dikatakan dengan jelas bahwa “Saya Tidak Gila”.
Kondisi terparah adalah ketika seseorang terkurung, ada kunci tetapi dia berada pada ruang dengan pintu yang memang hanya bisa terbuka dari luar maka tamat sudah. Ini kegilaan berkepanjangan. Kecuali ada orang lain yang tahu letak ruangan itu dan memiliki kunci serep untuk membukanya. Dan saya yakin, bukan termasuk golongan ini. Apa setelah membaca ini anda masih jenis manusia peng-vonis “DIA GILA!!”? Hm, jika iya berarti anda sudah gila. Albert Einstein mengatakannya dengan jelas bahwa “gila adalah melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan hasil yang berbeda”. Karenanya mulailah melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain, kawan. So, termasuk dimanakah anda??^^
gila... tulisannya jelas n lengkap banget...
ReplyDelete(hah dg begitu aci gila jg ga ya..)
wow....analisa yg bagus kak, tapi kalau saya bangga dibilangi gila sama org kak, seringka dibilangi gila, buat saya gila punya definisi berbeda, yakni orang yang selalu berbeda setiap detiknya, inovatif, dan berpikir out of the box.......
ReplyDeleteGila benerrr... :P
ReplyDelete@bunda+ansopy: kayaknya mang gila dah.. :D
ReplyDelete@fadli: Saya menemukan, sebuah kondisi kegilaan diklasifikasikan sebagai gila sebenarnya terjadi karena pikiran kita tidak mampu menjangkau pikiran orang lain yang dianggap gila, pikiran (orang gila) terhadap sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan. Kondisi berbeda dengan kebanyakan ini memunculkan dua hal....... kayaknya sjalan dah ma pendapatmu :D
aku masih belum gila kayaknya... :D
ReplyDeletetop ^^d
ReplyDeleteDia Gila? Aku ga gila ah
ReplyDelete@mas rido: alhamdulillah kalo belum gila. heh? belum??! jdi berharap akan gila dungs. hihii
ReplyDelete@yudhi:tingkyu..
@qefy: dia gila? nda koq, yang gila itu DIA. wakakkakakk..
gillaaaaa!
ReplyDeletehahaha.
temen2 sy pada blang sy gila, tp sy ngerasa waras2 aja kok. hahaha.
nice post kak!
visit my blog juga ya, and leave a comment there. hehe.
:D
wah nice entry, terserah mereka mau bilang gila.... mari kita berfikir dengan sudut pandang kita.... menembus batas yg tak bisa mereka lewati...
ReplyDeletesalam kenal mbak... :D
@sri: hahhahah.. idemlah kita.
ReplyDelete@affie9 : sepokatlah, peduli amat sma ucpan org, lah.. si amat sja dak peduli. :D
hahahahaa dket rumah q bnyk orng gila ^_^ n sxn rmh sakitnya 1 paket hhaahahaa
ReplyDelete@aurel: wah, berarti ucapan tmn2mu klo re itu gila, ada benarnya. soale yg gila pasti sering nyasar ke rumah, makanya tertular. :D
ReplyDeleteKita harus berterimakasih kepada org yang telah merelakan dirinya tuk disebut "GILA", karena ada mereka kita bisa jd org waras...
ReplyDelete