Takaran hebat dari segi edukasi bukanlah segala-galanya.
Justru aku merasa hebat pada mereka yang bisa bijak
dan memaknai hidup dari alam.
Sebuah kebebasan yang selalu ku rindukan.
Kehebatan atau kemampuan hanya terbatas pada sebuah ruang.
Saat ruang itu terganti, pemaknaan terhadap kehebatan juga terganti. Sama halnya dengan orang yang dikatakan baik.
Baik itu relatif.
Orang dikatakan baik hanya pada suatu situasi saja,
tidak pada setiap situasi.
Manusia adalah makhluk dengan kerangka emosi yang berbeda. Kadang kita bertemu mereka dengan kerangka emosi yag kuat, tapi tak sedikit dari mereka memiliki kerangka emosi yang labil.
Adalah wajar jika akupun merasakan hal yang sama. Kerangka emosi bukan seperti kerangka tubuh manusia yang kokoh. Kerangka itu tersusun dari ribuan sel syaraf labil bernama ego. Pertumbuhannya bergantung waktu dan suasana hati.
Dan..
Juga adalah wajar ketika masa itu datang padaku. Syaraf yang tercipta adalah sel-sel labil bernama ego uncontrol. Aku benci pada mereka yang telah berjanji tapi justru melanggar ucapan mereka sendiri. Kalau bukan karena lidah, dengan apalagi manusia bisa dipercaya? Lalu tanpa berdosa menganggap diri benar dan menyalahkan orang lain.
Adalah wajar jika aku memiliki rasa kecewa. Hanya saja sebuah rasa kecewa teramat sulit untuk tergantikan tawa. Kecewa memiliki enzim yang memperlambat berkembangnya sel syaraf positif. Semoga saja ada imun baru yang bisa mempertahankannya.
Kekecewaan memang datang tanpa bisa ditebak. Rekonstruksi imajinasi hanya bisa mengeluh ketika ternyata sketsa yang telah diukir sebelumnya begitu jauh dari fase sempurnanya. Lalu apa mau dikata?
Adalah wajar, jika kita tetap menurut pada emosi dan mengesampingkan rasionalitas. Alam adalah kanvas dan tetap kita sang pelukisnya. Setiap nasib, engkau yang menggenggamnya.
Adalah wajar jika aku memiliki rasa kecewa. Hanya saja sebuah rasa kecewa teramat sulit untuk tergantikan tawa. Kecewa memiliki enzim yang memperlambat berkembangnya sel syaraf positif. Semoga saja ada imun baru yang bisa mempertahankannya.
Kekecewaan memang datang tanpa bisa ditebak. Rekonstruksi imajinasi hanya bisa mengeluh ketika ternyata sketsa yang telah diukir sebelumnya begitu jauh dari fase sempurnanya. Lalu apa mau dikata?
Adalah wajar, jika kita tetap menurut pada emosi dan mengesampingkan rasionalitas. Alam adalah kanvas dan tetap kita sang pelukisnya. Setiap nasib, engkau yang menggenggamnya.
Orang yang terlihat benar, belum tentu dalam koridor yang benar.
Bisa jadi, ia justru sedang mencari pembenaran.
Bisa jadi, ia justru sedang mencari pembenaran.
Dunia adalah kanvas dan tetap setiap dari kita adalah pelukisnya. Sedang masalah adalah sebuah proses pendewasaan. Ketika engkau berhasil menyelesaikannya, semua jadi nampak mudah, hidup pun terasa indah. Sedang hidup adalah tempat bermimpi dan ketika terbangun, itu adalah waktu untuk mewujudkannya. Kita memang bukan makhluk sempurna tapi waktu tercipta untuk mengantar kita ke fase kesempurnaannya.
Kesempurnaan itu tidak perlu dicari, ia akan datang bersama kedewasaan yang kian merekah. Merekah laksana bunga yang selalu banggamenjemput pagi. Sebuah pagi yang setia bertasbih. Indah... Semua tidak akan hilang jika engkau tidak melepaskannya. Jadi genggam erat dan jangan pernah kau lepas. Mimpi adalah adrenalin yang memacumu tuk terbangun di setiap pagi, yang menuntut untuk ditemukan. Sepakat?!!
Kesempurnaan itu tidak perlu dicari, ia akan datang bersama kedewasaan yang kian merekah. Merekah laksana bunga yang selalu banggamenjemput pagi. Sebuah pagi yang setia bertasbih. Indah... Semua tidak akan hilang jika engkau tidak melepaskannya. Jadi genggam erat dan jangan pernah kau lepas. Mimpi adalah adrenalin yang memacumu tuk terbangun di setiap pagi, yang menuntut untuk ditemukan. Sepakat?!!
Ketika pandangan seseorang berbeda dengan kita, terkadang yang muncul adalah ego. Ego labil yang tiba-tiba saja merona dan menguasai keadaan. Sering emosi tak tertahan, yang menuntut pagar keangkuhan luluh lantak. Jadilah sebuah individu dengan timbre mental yang goyah, labil dan sangat sensitif.
Ketika pandangan orang lain berbeda dengan kita dan tanpa sengaja kita berdiri pada ruang terpojok, sering sekali pagar ketegaran itu retak, pecah dan roboh. Itu adalah fase ketika emosi yang menjelaga dan setiap individu merasa paling benar, dan berbalik arah menjerumuskan yang lain pada ruang terpojok.
Sebuah kondisi ril pencarian pembenaran. Tiba-tiba saja egoisme personal terlepas dari kontrol, belenggu penahan lepas, pecah dan meledak. Individu keluar dari posisi normalnya dan terlihat sadis memaknai kata dan tingkah. Sebuah partikel ego negatif tereksitasi dan meraja dalam periode yang cukup panjang.
Ketika pandangan orang lain berbeda dengan kita dan tanpa sengaja kita berdiri pada ruang terpojok, sering sekali pagar ketegaran itu retak, pecah dan roboh. Itu adalah fase ketika emosi yang menjelaga dan setiap individu merasa paling benar, dan berbalik arah menjerumuskan yang lain pada ruang terpojok.
Sebuah kondisi ril pencarian pembenaran. Tiba-tiba saja egoisme personal terlepas dari kontrol, belenggu penahan lepas, pecah dan meledak. Individu keluar dari posisi normalnya dan terlihat sadis memaknai kata dan tingkah. Sebuah partikel ego negatif tereksitasi dan meraja dalam periode yang cukup panjang.
0 komentar:
Post a Comment
Kawan, silahkan tinggalkan jejak,,,