Beberapa waktu lalu seorang teman mengajak berdiskusi. Sebenarnya bukan hal besar tapi bagi saya, sungguh menyenangkan telah diajak berbagi sedikit ruang tukar pikiran. Bahasannya kurang lebih tentang :
Diskusi itu berjalan tengah malam, memang ruang pikir akan sangat bersih di jam-jam itu. Menurut saya, di luar Dia yang Maha Agung rasa-rasanya tidak ada. Mungkin saya terlalu liberal, karena dalam anggapan saya, benar atau salah di bumi tidak lebih dari kesepakatan. Yang super body akan mendominasi pendapat minoritas. Misalkan sejarah. Dalam “Sejarah Dunia dalam 10 ½ bab” karangan Julian Barnes disebutkan kalau sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Ketika berseteru, yg kalah dimusnahkan dan pemenang menulis buku-buku sejarah yang meng-agungkan alasan sendiri dan menghinakan yang kalah. Napoleon juga membenarkan, “apakah sejarah itu, kecuali tabel yg disepakati”. Dan rasa-rasanya memang begitu.
“Adakah sesuatu di dunia ini yang benar-benar BENAR pun sesuatu yang benar-benar SALAH?” dan “Apakah ada solusi saat memandang masalah dari satu sudut pandang, karena semua merasa benar dari sudut pandang masing-masing.
Diskusi itu berjalan tengah malam, memang ruang pikir akan sangat bersih di jam-jam itu. Menurut saya, di luar Dia yang Maha Agung rasa-rasanya tidak ada. Mungkin saya terlalu liberal, karena dalam anggapan saya, benar atau salah di bumi tidak lebih dari kesepakatan. Yang super body akan mendominasi pendapat minoritas. Misalkan sejarah. Dalam “Sejarah Dunia dalam 10 ½ bab” karangan Julian Barnes disebutkan kalau sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Ketika berseteru, yg kalah dimusnahkan dan pemenang menulis buku-buku sejarah yang meng-agungkan alasan sendiri dan menghinakan yang kalah. Napoleon juga membenarkan, “apakah sejarah itu, kecuali tabel yg disepakati”. Dan rasa-rasanya memang begitu.
Apa ada solusi?
Menurut saya ada. Ketika kerangka pembicaraan dihadapkan pada persfektif tertentu. Maksud saya, saat berpendapat dipatok batasannya, maka kita akan membicarai 1 sudut pandang. Terlepas dari benar atau salah. Misal masalah sejarah tadi. Saat sejarah dibicarakan oleh mereka si pemenang, maka sudut pandangnya jadi satu. Bagaimana menciptakan hegemoni peristiwa, supaya di masa depan orang percaya bahwa inilah yang terjadi saat itu.
Tidak perlu jauh, misal Sukarno. Sejarah yang ditulis versi Sukarno sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan persfektif mahasiswa 66 yang notabene berhasil menumbangkan orde lama (lihat pandangan-pandangan Soe hok gie : kali ini pendapat saya tidak ada hubungannya dengan kekaguman saya pada Soe). Toh, pas baca sejarah dari sudut pandang mahasiswa 66, semua kebenaran versi Soekarno runtuh. Saya bahkan terbengong-bengong saat mengetahui dualisme itu.
Tidak perlu jauh, misal Sukarno. Sejarah yang ditulis versi Sukarno sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan persfektif mahasiswa 66 yang notabene berhasil menumbangkan orde lama (lihat pandangan-pandangan Soe hok gie : kali ini pendapat saya tidak ada hubungannya dengan kekaguman saya pada Soe). Toh, pas baca sejarah dari sudut pandang mahasiswa 66, semua kebenaran versi Soekarno runtuh. Saya bahkan terbengong-bengong saat mengetahui dualisme itu.
Sahabat saya menanggapi dan mengatakan bahwa saat semua pihak sepakat "itu yang terbaik", maka itulah yang terbaik, karena kebenaran tergantung kesepakatan, hanya saja muncul persoalan, sudut pandang mana yang harus disepakati dan apakah memang bisa disepakati?
Ia akhirnya membenarkan bahwa kesepakatan tidak selamanya benar tapi yang menjadi masalah menurutnya mengapa orang-orang justru menyepakati hal yang dianggap tidak benar. Toh, kesepakatan akan terbantahkan saat bukti baru yang dianggap sah mampu menggugurkan teori awal.
Perihal sah dan masuk akal itu kembali lagi, relatif pada orang-orang yang mengukurnya, dan pada bagian ini tolak ukur adalah acuan yang paling jelas yang akan menyetir kesepakatan akhir dari semua pembicaraan kebenaran itu. Tapi ketika orang-orang membicarakan asal muasal lahirnya kesepakatan itu, berarti bahasan diskusi juga berpindah, bukan lagi masalah sudut pandang tetapi pengujian kesepakatan dari subjektifitas pribadi.
Hm, bicara tentang berpendapat memang tidak akan menemukan ujungnya. Mungkin ini alasan pemerintah tetap memberlakukan pasal 28 UUD 45 sekalipun telah diamandemen berkali-kali. Satu-satunya saran saya,
Biarkan otak menstimuli setiap bahasan kesepakatan dengan aturan mainnya masing-masing, jangan mencampurkan nurani dan pengetahuan sebagai barometer karena hasilnya akan berbeda nantinya. Tergantung sasaran akhirnya apa, mencari kebijakan atau kebijaksanaan.
How about you?
Benar-benarnya, maka sesuatu itu benar (+ x + = +)
ReplyDeleteBenar salahnya, maka sesuatu itu salah (+ x - = -)
Salah benarnya, maka sesuatu itu salah (- x + = -)
Salah salahnya, maka sesuatu itu benar (- x - = +)
mari bermain logika... logika mana yang sedang dipermainkan??
jadi ingat kata Nasruddin Hoja ketika ditanya tentang apa itu kebenaran, jawabnya "Kebenaran adalah sesuatu yang belum pernah saya bicarakan dan mau saya bicarakan"
wah ternyata benar² BENAR dan yang benar² SALAH itu masih sulit untuk dibedakan karena masih terbentur oleh sejarah,,dan sejarah membuktikan yang BENAR selalu jadi topik,,,
ReplyDeletebenar dan salah menurutku sih hanyalah sebuah ungkapan...!
ReplyDeleteseperti sedikit kata-katanya Albert Einstein :
"di dunia ini tidak ada yang pasti, yang pasti hanyalah ketidakpastian !"
@sam: wow, demen logika yah. heheheh.. klo begitu view pendapat einstein yg ini dungs. beliau pernah mengatakan implikasi seperti ini "jika saya harus mengatakan yg sebenarnya, maka saya harus berdusta"
ReplyDeletesya tertarik menjabarannya, tp sayangnya tepat saat itu sya banting setir dri ilmu hitung ke pemerintahan. dan setelahnya sya sempurna tertawan peraturan.
so, do you wanna help me? :D
@sofyan: saya justru beranggapan, bukan benar salah yg terbentur sejarah, tp justru sejarahlah yg terbentur benar salah. :D
ReplyDelete@insomnia: di luar Dia Yang Maha Agung, sepertinya benar salah memang relatif subjektif..ya..
:D
@Achi: ga ahhh...saya ga terlalu tertarik untuk mereview pendapatnya einstein, apalagi menjabarkan perumusan logika...biarin aja begitu seperti adanya, ketertarikan saya hanya bersifat sementara ketika lagi dibutuhkan.. :D
ReplyDeletejiaaaahhhhhhhhhhhhhhh...
ReplyDeleteretoris.. wakakakkakakkak
bukan retoris......tapi ngelesss....wkwkwkwkwkkw
ReplyDeletekan penghalusan ngeles maksudnya tuw. hehehhehehehh
ReplyDelete"..jangan mencampurkan nurani dan pengetahuan sebagai barometer karena hasilnya akan berbeda nantinya."
ReplyDeletesaya sepakat denggan pernyataan ini :)
salam kenal..
Tulisan yg "berat"... O.o
ReplyDeleteMungkin krn saya bacanya semalem pas mo berangkat tidur (walo komen pagi esoknya), pas ngantux2nya hahah :D
@ul: Lah, di sini namanya jadi "ul"... B-)
@yuan: thanks dah menjejak sodara. :D
ReplyDelete@fathoni: bacaannya berat yah. hehehehhe.. ini tumben2nya sya lagi waras. wkwkwkwkwkkwkwkwkkk
pada kenyataannya kita tidak tahu salah benar tapi yang ada kalah menang,,yang menang dibenarkan yang kalah disalahkan,disaat soekarno menguasa sebagian orang membenarkan soekarno,disaat soekarno kalah sebagian orang mengatakan soekarno salah,,begitu pun di zaman orde baru,,hanya orang yang menggunakan nuraninyalah yang mampu memisahkan salah dan benar,bukan berlandas hanya pada kesepakatan,,walau kesepakatan punya andil dalam menjustifikasi sebuah kebenaran,,,
ReplyDeletehmmm, bener juga bicara tentang berpendapat memang tidak akan menemukan ujungnya. :)
ReplyDeleteacciii ^^ baru ya banner nya???
ReplyDeleteHahahahaha, aku terkenal diam kalau lg silang pendapat. Nanti kalau udah tinggi panasnya. Aku siraaam pake ayat-ayat. Wkakakaka..#mengingatmasakampus
ReplyDelete@k uppy: mungkin bukan tidak tau, tapi qt punya versi benar salah yg beda satu sama lain. menang kalah hanya produk situasi.
ReplyDeletetpi saya sepakat klo kesepakatan punya andil dalam menjustifikasi kebenaran, terlepas dari nilai kebenaran yg benar atau salah.
thanks dah menjejak. :D
@kisi: yup, benar sodara. :D
ReplyDelete@teh liez: sebenarnya dah lama teh, iseng buat tp alakadarnya. heheheh.. tp koq malas hapus yah.. jdi biar ja disana, biar ngambil spase. heheheh
@qefy: em.. jdi apa ayat yg akan dibagi untuk sya neh qef. :D
alangkah mudah ketika berpikir bahwa bumi adalah haya berotasi pada porosnya dibanding berpikir bahwa bumi pun berotasi mengelilingi matahari.
ReplyDeleteAlangkah mudah ketika kita berpikir bahwa kita lah yg paling benar dan yang lain slah..dibanding kita berpikir bahwa setiap org pnya kemungkinan yg benar...hahahaa
Jadi apa pun pendapat di atas..saya hanya akan tersenyum dan mndengar,,,kalau pun ada yg bertentangan,,itu hanya maslah kekeliruan di mata saya..dan keliru berbeda dengan kesalahan ataupun kebenaran...
*ga nyambung ahh...heeyyy..pemangsaaa!! Kutunggu jejakmu di blog saia...lekaaasss!!!!!
dualita cii... klo ga ada yg bener ya ga ada yang salah.. yang pener itu ya tuhan esa XD
ReplyDeleteTulisan yg bermanfaat nih..
@nick: hayyyaaaa.. napo pulak si tkw ribut2 disini. dah tau dak nyambung masih ja ribut2, cepat balik k dapur. :D
ReplyDeleteeh, postingan barumu dah sya baca nick, niat jdi silent reader, tp sya malah dikepung sampai sini. hadewww.. bakat serdadu lu. hahhahhahah
@silmina: di luar Dia yg Maha agung, mmg gda lgi min. ini versi pikiran manusianya manusia sj. g nyambung yah? hehe.. mksih dah klo coretan sy ada gunanya. :D
ReplyDeleteijin nyimak dulu gan :)
ReplyDeleteNumpang mampir mbak. baca2... keep writing.^_^
ReplyDeletekebenaran dari insan hanya temporer dan relatif.karenanya Nabi Muhammad SAW. selalu dijaga oleh Allah SWT.agar terhindar dari kesalahan.namun demikian, untuk urusan duniawi, beliau pernah melakukan sebuah kesalahan
ReplyDelete@daris + edi : yuhu, sip gan. disilahkeun. :D
ReplyDelete@ceritaalkotsa: yup, makanya sya tsk pernah berani membicarai kebenaran di luar Dia yang Maha. Kita adalah nihil saat berhadapan dengan-Nya.
izin kak, tulisannya sangat berat, tidak cukup satu kali bagi saya membacanya untuk akhirnya mampu untuk memahami atau untuk sedikit mengerti maksud dari tulisan kakak ini.
ReplyDeleteIzin kak, untuk saya pribadi, saya setuju dengan statement terakhir kakak, bahwa tak akan pernah habisnya apabila kita berbicara mengenai "pendapat". Pendapat itu erat dengan perasaan walaupun memang juga sedikit banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai.
Sehingga ketika kemudian pendapat itu berlanjut dengan adanya "kesepakatan" lalu dibenarkan menjadi sebuah "kebenaran", ya itu bisa untuk diterima.
Tapi pertanyaannya, kesepakatan dalam bentuk apa?
Saya mungkin konservatif, tapi kebenaran itu bagaimanapun juga harus bersifat mutlak, tidak bisa nisbi. Sehingga "kesepakatan" itu harus tertuang dalam bentuk hukum atau aturan secara tertulis. Sehingga, benar dan salah, semua tergantung dari apa yang diatur dan dijelaskan dalam hukum.
penjabaran kebenaran dan kesepakatan di postingan itu sifatnya universal. klo dibuat berbatas, tidk selamanya sesuatu bisa diatur dan dijelaskan secra hukum. ada hal2 yg oleh kita menjadi bagian dr masyarakat tnpa ada aturan/hukum yg mngikat.
Deletepemberian nama2 benda, pulpen misalnya. kalau org2 jaman dulu tidak bersepakat menyebut alat tulis bertinta sebgai pulpen (kita sebut x) mka generasi yg sekrg tdk akan menyebut benda x sbagai pulpen. klo sja org dulu spakat menyebut benda x sebagai spidol, maka itu yg akan berlaku di masyarakt. dan penyebutan benda x sebagai pulpen akan dianggap salah.
klo saya pribadi satu2nya kebenaran mutlak itu hanya sang pencipta, (seperti di postingan) dan lagi2 mnganggap kebenaran yg kita kenal skg hanya produk kesepakatan. hukum sja produk kesepakatan kan? dibuat berdasarkan sharing pendapat dan perbandingan sejumlah variable yg dianggap benar saat itu. dan ketika manusia smakin berkembang, permasalahan kian kompleks, terkadang hukum akan diubah untuk disesuaikan dengan psikis dan sosial masyarakat.
berbeda saat kita berbicara ttg kitabullah, sungguh ajaib, manusia berkembang dan makin kompleks tetapi tetap sja sejalan dengan Quran suci. #stop. tau diri, sya bukan org yg berkompoten untuk menjabarkan bagian yg ini lebih lanjut.